Kamis, 26 Desember 2013

Working Condition




BAB 1 – PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Working condition atau kondisi kerja dapat diartikan sebagai serangkaian kondisi atau keadaan lingkungan kerja dari suatu perusahaan yang menjadi tempat bekerja dari para karyawan yang bekerja di dalam lingkungan tersebut. Kondisi kerja dalam konteks ini adalah kondisi kerja yang baik, nyaman dan mendukung pekerja untuk dapat menjalankan aktivitasnya dengan baik, meliputi segala sesuatu yang ada di lingkungan karyawan yang dapat mempengaruhi kinerja, serta keselamatan dan keamanan kerja, temperatur, kelambaban, ventilasi, penerangan, kebersihan dan lain-lain.
Kondisi kerja ini sangat mempengaruhi kinerja para karyawan dalam bekerja. Kondisi kerja yang kondusif sangat membantu karyawan dalam meningkatkan produktivitas. Lingkungan kerja yang harmonis yang dipengaruhi faktor-faktor seperti kondisi psikologis, kondisi fisik dari masing-masing karyawan harus menjadi perhatian dalam menciptakan kondisi kerja yang kondusif.
Selain kondisi psikologis dan kondisi fisik dari masing-masing karyawan, sebuah organisasi dalam hal ini perusahaan, harus mempunyai kondisi psikologis dan fisik pula yang kondusif. Kondisi fisik yang dimiliki perusahaan antara lain tingkat pencahayaan, sirkulasi udara, suhu ruangan, tingkat kebisingan yang ditimbulkan dari mesin apabila perusahaan tersebut menggunakan mesin, dan lain sebagainya. Sedangkan kondisi psikologis yang dimiliki perusahaan antara lain adalah menciptakan feeling of privacy dan sense of status and impotance dari layout atau tata letak perusahaan.
Kondisi psikologis dari lingkungan kerja dapat mempengaruhi kinerja yang meliputi perasaan yang bersifat pribadi atau kelompok, status dihubungkan dengan sejumlah lokasi ruang kerja dan sejumlah pengawasan atau lingkungan kerja. Ketika perusahaan mampu memberikan fasilitas tersebut, perusahaan mampu menciptakan kondisi kerja yang kondusif dan kinerja karyawan akan menyebabkan optimalnya produktivitas perusahaan.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mencoba untuk mengintepretasi beberapa jurnal internasional mengenai kondisi kerja agar dapat lebih memahami permasalahan atau pengaruhnya.

1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini untuk membatasi lingkup bahasan materi working condition atau kondisi kerja yang akan dibahas, serta merumuskan masalah-masalah apa yang terjadi dalam working condition atau kondisi kerja berdasarkan jurnal, sehingga dapat diambil manfaatnya dalam kenyataan kondisi kerja organisasi atau perusahaan.
1.      Adakah pengaruh working condition atau kondisi kerja dengan tingkat kualitas pekerjaan seseorang (dalam hal ini adalah pekerjaan guru) pada tingkat pengupahan yang sama?
2.      Adakah pengaruh working condition atau kondisi kerja terhadap produktivitas (dalam hal ini observasi di daerah Nigeria)?
3.      Adakah pengaruh working condition atau kondisi kerja dengan aspek-aspek psiko-sosial antara lain job engagement atau komitmen terhadap pekerjaan tersebut serta bagaimana pengaruhnya dengan job insecurity?
4.      Apakah performa kinerja atau job performance dipengaruhi oleh kondisi kerja atau working condition dan job characteristic?

1.3. Tujuan
1.      Mengetahui pengaruh working condition atau kondisi kerja dengan tingkat kualitas pekerjaan seseorang (dalam hal ini adalah pekerjaan guru) pada tingkat pengupahan yang sama.
2.      Mengetahui pengaruh working condition atau kondisi kerja terhadap produktivitas.
3.      Mengatahui pengaruh working condition atau kondisi kerja dengan aspek-aspek psiko-sosial antara lain job engagement atau komitmen terhadap pekerjaan tersebut serta bagaimana pengaruhnya dengan job insecurity.
4.      Mengetahui bahwa performa kinerja atau job performance dipengaruhi oleh kondisi kerja atau working condition dan job characteristic atau tidak.





BAB 2 – DASAR TEORI

Menurut Stewart and Stewart (1983), kondisi kerja atau working condition adalah serangkaian kondisi atau keadaan lingkungan kerja dari suatu perusahaan yang menjadi tempat bekerja dari para karyawan yang bekerja didalam lingkungan tersebut. Kondisi kerja dalam konteks ini adalah kondisi kerja yang baik, nyaman dan mendukung pekerja untuk dapat menjalankan aktivitasnya dengan baik, meliputi segala sesuatu yang ada di lingkungan karyawan yang dapat mempengaruhi kinerja, serta keselamatan dan keamanan kerja, temperatur, kelambaban, ventilasi, penerangan, kebersihan dan lain-lain. Hal tersebut dapat membantu karyawan atau pekerja untuk meningkatkan produktivitasnya.
Sedangkan menurut Newstrom (1996) kondisi kerja berhubungan dengan penjadwalan dari pekerjaan, lamanya bekerja dalam hari dan dalam waktu sehari atau malam selama orang-orang bekerja. Hal ini perlu diatur untuk menciptakan kondisi kerja yang proporsional sehingga dapat meningkatkan keefektivitasan untuk berproduksi.



















BAB 3 – PEMBAHASAN

Untuk dapat mengetahui pengaruh working condition atau kondisi kerja dengan tingkat kualitas pekerjaan seseorang (dalam hal ini adalah pekerjaan guru) pada tingkat pengupahan yang sama, kami mereview dan mengintepretasi sebuah jurnal yang relevan dengan topik ini. Dalam jurnal “Pay, Working Conditions, and Teacher Quality” yang ditulis oleh Eric A. Hanushek and Steven G. Rivkin (tahun 2007) meneliti bagaimana pengaruh upah dan kondisi kerja terhadap kualitas instruksi/pengajaran di kelas. Upah guru relatif terhadap guru-guru yang lulusan perguruan tinggi telah turun sejak tahun 1940an. Hari ini upah rata-rata sedikit berbeda antara perkotaan dengan daerah pinggiran. Dibeberapa daerah metropolitan/perkotaan guru diberi upah lebih, di beberapa daerah pinggiran pun guru diberi upah lebih. Padahal kondisi kerja kedua daerah tersebut berbeda secara substansial. Guru-guru di daerah perkotaan melaporkan bahwa biaya administrasi di sekolah mereka lebih sedikit, dukungan orang tua murid lebih rendah, kondisi material/bangunan yang buruk, dan masalah siswa yang lebih besar dari pada di sekolah daerah pinggiran. Kondisi kerja yang sulit dapat mendorong perbedaan dalam perpindahan (turnover) dan transfer guru di seluruh sekolah.
Menggunakan data dari sekolah publik di Texas, penulis mendiskripsikan secara detail  apa yang terjadi ketika guru-guru pindah dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Mereka meneliti bagaimana gaji dan karakter siswa berpengaruh terhadap perpindahan guru dan apakah perpindahan guru tersebut mempengaruhi kualitas guru dan pencapaian prestasi siswa. Penulis mencatat bahwa upah dan karakteristik siswa mempengaruhi pilihan guru terhadap suatu sekolah (perpindahan guru) dan mengakibatkan pemilahan guru di seluruh sekolah tersebut. Namun, penulis menemukan sedikit bukti guru transitions/pindahan merugikan siswa dalam proses pembelajaran. Sejauh mana variasi dalam gaji dan kondisi kerja yang diterjemahkan ke dalam perbedaan mutu pengajaran tergantung pada efektivitas kebijakan sekolah masing-masing dalam memperkerjakan dan mempertahankan guru yang paling efektif.
Para penulis menyimpulkan bahwa kenaikan gaji keseluruhan untuk guru adalah cara yang mahal dan tidak efektif. Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas pengajaran adalah dengan cara menghambat atau mempersulit kesempatan bagi guru untuk pindah dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Dapat dilakukan dengan cara memperketat peraturan penerimaan guru, seperti guru harus memiliki sertifikasi, dan menghubungkan kompensasi dan kemajuan karir yang lebih erat dengan kemampuan guru untuk meningkatkan kinerja siswa.
Sedangkan, untuk mengetahui pengaruh working condition atau kondisi kerja terhadap produktivitas, kami telah mereview sebuah jurnal berjudulThe Influence of Work Environment on Workers Productivity: A Case of Selected Oil and Gas Industry in Lagos, Nigeria” yang ditulis oleh Akinyele Samuel Taiwo (tahun 2009). Dalam jurnal ini diperoleh beberapa kesimpulan sbb:
·      86% dari masalah produktivitas berada di lingkungan kerja organisasi.
·      Lingkungan kerja eksternal maupun internal  seperti sebuah  kebijakan bagi para karyawan. Jika lingkungan tidak kondunsif maka yang terjadi adalah tidak adanya kenaikan produktivitas pekerja.
·      Dari kuesioner yang dikembalikan responden menggambarkan lingkungan kerja mereka berbeda dari pandangan bahwa lingkungan kerja mereka sangat kondusif dan nyaman.
·      Kita menerima hipotesis nol dan menolak hipotesis alternatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbaikan di lingkungan kerja dapat menyebabkan lebih tinggi produktivitas karyawan.
·      Hipotesis pertama dari penelitian ini adalah menyatakan demikian: Kondisi kerja yang buruk menurunkan produktivitas karyawan.
·      Sebaiknya dilakukan perbaikan kondisi lingkungan kerja demi tingginya tingkat produktivitas, yang secara langsung akan berdampak pada kemajuan perusahaan.
·      Lingkungan kerja yang kondunsif juga akan merangsang kreativitas karyawan.
·      Temuan yang didapat dari jurnal ini adalah:
1.      Dasar faktor-faktor dalam lingkungan kerja eksternal khususnya penyediaan infrastruktur yang tidak memadai dari beberapa fasilitas telah mempengaruhi produktivitas.
2.      Faktor-faktor dalam lingkungan kerja internal khususnya, tekanan pekerjaan terkait juga memiliki efek negatif terhadap produktivitas kerja mereka. Ditambah dengan ini adalah faktor manusia, yaitu, hubungan pekerja dengan manajemen dan, atau rekan kerja, tingkat tunjangan terutama manfaat non-tunai, serta faktor-faktor terkait dengan penduduk disekitar tempat bekerja.
3.      Sejumlah fasilitas fisik dan psikologis faktor-faktor yang dianggap tepat untuk meningkatkan produktivitas saat ini harapan tenaga kerja.
4.      Beberapa terkait dengan kebijakan ketenagakerjaan/pekerjaan seperti orientasi bagi pekerja baru, kesempatan untuk pelatihan dan pengembangan, promosi, pekerjaan dll keamanan saat ini dianggap tidak menguntungkan bagi pekerja dan karena itu memiliki dampak negatif untuk produktivitas.
·      Penelitian ini telah memberikan wawasan pengaruh lingkungan kerja pada produktivitas pekerja. Temuan ini menunjukkan bahwa 42,63% dari responden yang berpendapat bahwa lingkungan kerja tidak bisa meningkatkan produktivitas mereka dan sisanya 57,37% dari responden berpendapat bahwa lingkungan kerja bisa meningkatkan produktivitasnya. 70,49% dari responden yang berpendapat bahwa gaji tinggi, lingkungan kerja yang baik dan kondunsif adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan peningkatan produktivitas pekerja dan 3,28% responden tidak tahu bagaimana untuk meningkatkan produktivitas mereka. 63,30% dari responden yg mengalami stres, kelelahan, sakit, kebosanan, demotivasi dan ketidakbahagiaan. Persentase ini tinggi dan perbaikan dalam lingkungan kerja mereka dianjurkan untuk meningkatkan produktivitas pekerja. Hasil uji analisis T menunjukkan karyawan yang bermasalah dalam produktivitas  lingkungan. Semua upaya ditargetkan untuk mengurangi masalah produktivitas karyawan harus diarahkan pada lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang kondusif merangsang kreativitas karyawan yang dapat menyebabkan metode yang lebih baik yang akan meningkatkan produktivitas. Hal ini juga disimpulkan berdasarkan T-hasil tes bahwa perbaikan di lingkungan kerja dapat menyebabkan produktivitas yang lebih tinggi dari karyawan dan kerja yang buruk.
·      Kondisi berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas karyawan.
Merumuskan masalah selanjutnya, untuk mengatahui pengaruh working condition atau kondisi kerja dengan aspek-aspek psiko-sosial antara lain job engagement atau komitmen terhadap pekerjaan tersebut serta bagaimana pengaruhnya dengan job insecurity, kami juga telah mereview dan mengintepretasi sebuah jurnal yang relevan dengan topik ini. Berdasarkan jurnal “Psychological Empowerment, Job Insecurity and Employee Engagement” yang ditulis oleh Marius W. Stander & Sebastiaan Rothmann (2010) didapat kesimpulan sebagai berikut.
Keterlibatan karyawan (Mei Gilson & amp; Harter, 2004) dan empowerment psychological (Spreitzer, 1995) merupakan konsep-konsep penting untuk dipertimbangkan ketika berhadapan dengan perubahan di tempat kerja dan peningkatan kinerja. Psychological empowerement mampu  meningkatkan kontrol pribadi karyawan dan memotivasi mereka untuk terlibat dalam pekerjaan, yang pada akhirnya mengakibatkan hasil positif  manajerial dan organisasi (Quinn & amp; Spreitzer, 1997)
Conger dan Kanungo (1988) menggambarkan pemberdayaan sebagai proses dimana kondisi yang mendorong ketidakberdayaan diidentifikasi dan dihapus dengan menyediakan informasi, sehingga meningkatkan efikasi diri karyawan. Menurut Spreitzer (1995), psychological empowerement  mengacu pada pengalaman u2019s % individu memotivasi yang didasarkan pada kognisi tentang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan peran pekerjaan.
Greco, Laschinger dan Wong (2006) menyatakan masuk akal untuk berharap, jika karyawan memiliki pengalaman kerja yang sesuai dengan harapan dan kondisi kerja mereka, mereka akan lebih terlibat dalam pekerjaan mereka.Karyawan yang terlibat memiliki hubungan yang energik dan efektif dengan aktivitas kerja mereka dan melihat diri mereka mampu sepenuhnya menghadapi tuntutan pekerjaan tersebut  (Schaufeli, Salanova, Gonzáles-Romá & Bakker, 2002)
Penelitian Sparks, Faragher dan Cooper (2001) menunjukkan bahwa persepsi job insecurities berkorelasi negatif dengan kesejahteraan karyawan. Karena job insecurities dianggap sebagai ancaman dan menunjukkan ketidakpastian, ini dideskripsikan oleh karyawan  sebagai stres, yang sering dikaitkan dengan ketidakberdayaan (Witte De, 1999; De Cuyper & amp; Witte de, 2005; Nswall, Sverke & amp; Hellgren, 2005). Persepsi karyawan terhadap job insecurities dapat menyebabkan organisasi menderita secara finansial terkait ketidakhadiran dan menurunnya kesejahteraan karyawan (Sparks et al., 2001).  Kekhawatiran lain organisasi yang disebabkan oleh job insecurities adalah peningkatan turnover karyawan, penurunan produktivitas pekerja, dan tingkat yang lebih rendah dari komitmen, keterlibatan karyawan, kepuasan, kesetiaan, dan kepercayaan di mata karyawan.
Pengertian psychological empowerment and employee engagement sendiri menurut Spreitzer (1995), psychological empowerement  muncul ketika karyawan menganggap mereka memiliki kendali atas kehidupan kerja mereka. Pemberdayaan psikologis bukanlah atribut tetap kepribadian. Tetapi terdiri dari kognisi yang dibentuk oleh lingkungan kerja. Sedangkan job insecurities berkaitan dengan orang-orang dalam konteks pekerjaan mereka yang takut bahwa mereka mungkin kehilangan pekerjaan mereka dan menjadi pengangguran (De Witte, 1997, 1999). Probst (2002) mendefinisikan job insecurities sebagai persepsi stabilitas dan kelanjutan dari suatu pekerjaan. Menurut definisi yang diajukan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt (1984, p. 438), job insecurities mengacu pada bagaimana menjaga kesinambungan yang diinginkan dalam pekerjaan yang sedang terancam situasi.
De Cuyper et al. (2008) menemukan job insecuritiea secara statistik merupakan faktor negatif berkaitan keterlibatan karyawan (r =-0.18). Para peneliti juga menyarankan bahwa job insecurities  mungkin menyebabkan perasaan uncontrollability yang tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu, psychological empowerment dipengaruhi oleh seberapa aman karyawan merasakan peran pekerjaan mereka. Individu akan merasa diberdayakan ketika mereka merasa aman tentang diri mereka sendiri. Ketidakamanan dapat mengalihkan karyawan dari perasaan yang diberdayakan. Hal ini mungkin mengakibatkan keterlibatan karyawan yang lebih rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa job insecurities memiliki efek utama pada tiga dimensi psikologis pemberdayaan (competence, meaning, and impact) dan keterlibatan karyawan. Oleh karena itu, individu yang mengalami tujuan dalam pekerjaan mereka percaya bahwa mereka memiliki keterampilan dan kemampuan untuk dapat mempengaruhi sistem yang sudah tertanam, dan yang memiliki tujuan self-endorsed (Mishra & amp; Spreitzer, 1998 Quinn & amp; Spreitzer, 1997) serta lebih terlibat dalam pekerjaan mereka.
Karyawan yang takut bahwa mereka akan kehilangan pekerjaan mereka mungkin mengalami kehilangan makna (yaitu rasa atas tujuan yang ingin dicapai), kompetensi (yaitu keyakinan mereka bahwa mereka memiliki keterampilan dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan mereka dipengaruhi), dan dampak (yaitu keyakinan mereka bahwa mereka dapat mempengaruhi sistem yang tertanam dipengaruhi). Greasley et al. (2005) menemukan bahwa pekerja yang menganggap diri mereka diberdayakan akan berkurang job insecuritiesnya .
Berikut adalah pola hubungan dari employee empowerment, job insecurity dan employee engagement :
Supervisor dan manajer harus membuat lingkungan kerja di mana karyawan menganggap pekerjaan mereka sebagai bermakna dan di mana mereka merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi suatu hal dalam organisasi (Mei et al, 2004). Mereka juga harus membangun kompetensi karyawan. Selain itu, mereka dapat membuat iklim kerja yang mendukung otonomi dengan mempertimbangkan perspektif karyawan, menyediakan pilihan yang lebih besar, dan mendorong self-initiation (Gagne & amp; Deci, 2005).
Bahasan selanjutnya adalah untuk mengetahui bahwa performa kinerja atau job performance dipengaruhi oleh kondisi kerja atau working condition dan job characteristic atau tidak. Maka dari itu, kami mereview sebuah jurnal dengan judul The Effects of Job Characteristics and Working Conditions on Job Performance” yang ditulis oleh Emin Kahya (2007). Job Performance bisa dianggap sebagai variabel dependen yang paling penting pada industrial dan organizational psikologi.
Borman dan Motowidlo (1993) membagi employee behaviour pada 2 kelas besar: Task Performance dan Contextual Performance. Keduanya berkontribusi pada keefektifan organisasi namun dengan cara yang berbeda. Task Performance adalah pola perilaku yang secara langsung masuk dalam produksi barang atau jasa atau aktivitas yang menyediakan indirect support untuk proses teknis inti pada organisasi tersebut. Contextual performance adalah usaha individu yang tidak secara langung terkait dengan fungsi tugas utamanya namun penting karena hal ini membentuk konteks organisasional, sosial, dan psikologis yang menjadi katalis penting untuk task activities dan processes (Werner, 2000). Contoh contextual performance adalah ketika pekerja membantu pekerja lain dalam melaksanakan tugasnya, kooperatif dengan supervisornya, atau memberi usul untuk meningkatkan efektifitas proses produksi.
Hasil dari beberapa penelitian yang memasukan variabel seperti umur, gender, pengalaman, dan organizational politics, pada umumnya menghasilkan bahwa job experience dan tingkat edukasi memiliki efek direct dan indirect pada job performance. Sebagai contoh, Schmidt (1986), Moser (1999), dan Posthuma (2000) melaporkan rata-rata korelasi sebesar 0.09-0.18 antara experience dan job performance. Hal ini menunjukan bahwa untuk pekerjaan yang semakin kompleks sebuah pekerjaan, kenaikan pada job experience berarti semakin tingginya tingkat job knowledge dan task performance. Berlaku juga sebaliknya untuk pekerjaan yang rendah kekompleksannya.
Salah satu concern utama dalam perusahaan manufaktur adalah meningkatkan produktifitas pekerja, yang mana merupakan salah satu job performance measures. Menurut penelitian tentang faktor ergonomik yang membuat produktifitas pekerja rendah oleh Shikdar dan Sawaqed (2003) pada enam industri berbeda mendapatkan r=0.234 antara indikator performa dan faktor lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tingginya masalah pada lingkungan kerja berhubungan dengan masalah-masalah performa kerja seperti produktifitas rendah dan tingginya tingkat absen pekerja.
 Pada literatur job performance, belum ada riset yang menunjukan efek potensial job characteristics dan working conditions pada task and contextual performance. Pekerja blue-collar yang bekerja di pekerjaan manufaktur membutuhkan tenaga fisik selama melakukan tugasnya seperti mengangkat, merunduk, berdiri, berjalan, dan mendorong. Hal-hal diatas memforsir energi pekerja dan terkonversi menjadi waste activities seperti peralatan dan metode yang  tidak efisien, dan postur yang tidak berguna.
Pada literatur job evaluation, kondisi kerja atau working condition terbagi dalam dua dimensi: environmental conditions dan hazards. Environmental conditions ada dalam keadaan biasa hingga ekstrim yang mencakup suhu, kelembapan, kebisingan, bau, tingkat penerangan, dan debu. Kondisi lingkungan yang tidak nyaman akan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi job performance dan dapat menyebabkan meningkatnya kos.Hazards adalah hal-hal langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat dihindari seperti bahaya listrik, cahaya, benda mudah terbakar, penyakit pekerjaan, dan resiko kematian. Permasalahan hazards biasanya terjadi karena tingkat keamanan yang rendah.
Riset dilakukan di perusahaan manufaktur skala medium yang memproduksi berbagai tipe tractor cabin. Empat belas supervisor menjadi rater (tiap supervisor adalah first-line manager dari satu atau dua tim. Semua supervisor berpartisipasi dalam beberapa one-day workplace training courses yang mengkover prinsip asessmen.
Sebanyak 154 blue-collar employees dari berbagai divisi/tim juga berpartisipasi dalam studi ini. Pekerja-pekerja tersebut sudah bekerja paling tidak empat bulan di perusahaan tersebut sehingga bisa lebih fair ketika dinilai oleh supervisornya.
Kuisioner job analysis dibuat untuk mendapatkan informasi pekerjaan dalam 14 job evaluation faktor yang diadopsi dari Metal Industry Job Grading System (MIJGS) (1996) untuk menentukan job characteristics dan working conditions.
Ada beberapa penemuan yang menarik, job grade berkorelasi kuat dengan task performance (r = 0.456, p<0.01) dan contextual performance (r=0.411, p<0.01). Environmental conditions berkorelasi secara signifikan dengan task performance (r=0.332,p<0.01), tidak berhubungan dengan contextual performance (r=0.058). Koefisien korelasi tertinggi sebesar r=0.622, p<0.001 terjadi antara environmental conditions dan physical effort, berarti semakin buruk environmental condition-nya maka semakin tinggi physical effort-nya.
Dalam literatur performace evaluation, walaupun banyak studi sistematis telah memasukan ke efek potensial beberapa variabel seperti umur, gender, pengalaman, dan politik organisasional, ini adalah investigasi pertama yang mengindikasikan pengaruh job characteristics dan workplace conditions pada job performance.
Borman dan Motowidlo (1993) menyebutkan sumber utama dalam task performance adalah profisiensi yang mana seseorang dapat menyelesaikan task activities. Ini berarti perbedaan individu dalam pengetahuan, skill, dan kemampuan harus lebih berhubungan dengan task performance daripada contextual performance. Pengalaman mungkin mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung pada job performance. Kenaikan dalam pengalaman dapat menghasilkan kenaikan dalam pengetahuan kerja, yang akan meningkatkan job performance.
Pekerja yang berpengalaman mungkin akan mendapat kesulitan dalam adaptasi dalam bersosialoisasi dengan situasi baru atau akan melakukan sesuatu untuk meningkatkan kemampuannya dan tidak membantu orang lain. Korelasi antara job performance dan tingkat edukasi tidak sesuai dengan pola hasil yang diprediksi.
Penemuan riset menunjukan bahwa job grade secara kuat berkorelasi dengan task and contextual performance. Ini mengindikasikan secara umum bahwa pekerja yang berkualifikasi dalam pekerjaan tersebut  akan memiliki job performance yang lebih tinggi.
Salah satu kontribusi dari studi ini adalah menjelaskan efek dari working conditions pada job performance. Faktor ergonomik harus jadi sebuah hal yang diperhatikan karena dengan bekerja nyaman maka pekerja akan memiliki job performance yang lebih tinggi.  Physical effort: Physical effort yang intens akan menyebabkan menurunnya job performance. Hasil penelitian menunjukan physical condition punya efek yang signifikan pada kualitas, kooperatifitas, dan kreatifitas.
Environmental conditions: Secara tidak terduga, environmental conditions berkorelasi secara kuat dengan kriteria “following organizational rules”,“cooperating”, dan “concentrating”. Pekerja yang bekerja dibawah kondisi kerja yang tidak nyaman akan bertendensi mematuhi peraturan organisasi dan juga lebih berkonsentrasi lebih dalam melakukan pekerjaannya. Di sisi lain, environmental conditions menurukan cooperation diantara teman kerja untuk menyelesaikan pekerjaan. Pekerja menunjukan tingkat konsentrasi yang rendah dan tingkat absen yang tinggi ketika bekerja pada tempat yang berbahaya. Dapat dikatakan, untuk pekerjaan yang lebih kompleks, perbaikan kondisi kerja dapat mengurangi dampak task performance dan contextual performance dalam pekerjaan yang berbeda-beda dan terus berkontribusi dalam job performance.
BAB 4 – PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari review jurnal yang kami lakukan, maka penulis menyimpulkan :
1.      Upah dan karakteristik siswa mempengaruhi pilihan guru terhadap suatu sekolah (perpindahan guru) dan mengakibatkan pemilahan guru di seluruh sekolah tersebut. Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas pengajaran adalah dengan cara menghambat atau mempersulit kesempatan bagi guru untuk pindah dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Dapat dilakukan dengan cara memperketat peraturan penerimaan guru, seperti guru harus memiliki sertifikasi, dan menghubungkan kompensasi dan kemajuan karir yang lebih erat dengan kemampuan guru untuk meningkatkan kinerja siswa. Beberapa terkait dengan kebijakan ketenagakerjaan/pekerjaan seperti orientasi bagi pekerja baru, kesempatan untuk pelatihan dan pengembangan, promosi, pekerjaan, dll.
2.      Ada pengaruh working condition terhadap produktivitas. Kesimpulan ini didapat dari hasil penelitian di perusahaan minyak dan gas di Nigeria. Temuan ini menunjukkan bahwa 42,63% dari responden yang berpendapat bahwa lingkungan kerja tidak bisa meningkatkan produktivitas mereka dan sisanya 57,37% dari responden berpendapat bahwa lingkungan kerja bisa meningkatkan produktivitasnya. 70,49% dari responden yang berpendapat bahwa gaji tinggi, lingkungan kerja yang baik dan kondunsif adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan peningkatan produktivitas pekerja dan 3,28% responden tidak tahu bagaimana untuk meningkatkan produktivitas mereka. 63,30% dari responden yg mengalami stres, kelelahan, sakit, kebosanan, demotivasi dan ketidakbahagiaan.
3.      Psychological empowerement mampu  meningkatkan kontrol pribadi karyawan dan
memotivasi karyawan untuk terlibat dalam pekerjaan, yang pada akhirnya mengakibatkan hasil positif  manajerial dan organisasi (Quinn & amp; Spreitzer, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa job insecurities memiliki efek utama pada tiga dimensi psikologis pemberdayaan (competence, meaning, and impact) dan keterlibatan karyawan. Karyawan yang takut bahwa mereka akan kehilangan pekerjaan mereka mungkin mengalami kehilangan makna (yaitu rasa atas tujuan yang ingin dicapai), kompetensi (yaitu keyakinan mereka bahwa mereka memiliki keterampilan dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan) dan dampak (yaitu keyakinan mereka bahwa mereka dapat mempengaruhi sistem yang tertanam). Supervisor dan manajer harus membuat lingkungan kerja di mana karyawan menganggap pekerjaan mereka sebagai bermakna dan di mana mereka merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi suatu hal dalam organisasi (Mei et al, 2004).
4.      Kenaikan dalam pengalaman dapat menghasilkan kenaikan dalam pengetahuan kerja,
yang akan meningkatkan job performance. Pekerja menunjukan tingkat konsentrasi yang rendah dan tingkat absen yang tinggi ketika bekerja pada tempat yang berbahaya. Dapat dikatakan, untuk pekerjaan yang lebih kompleks, perbaikan kondisi kerja dapat mengurangi dampak task performance dan contextual performance dalam pekerjaan yang berbeda-beda dan terus berkontribusi dalam job performance.

4.2  Saran
Penulis akan menyampaikan beberapa saran yang bisa dilakukan oleh suatu organisasi atau perusahaan dalam menciptakan keefektifan dalam organisasi :
1.      Dalam suatu perusahaan perlu memperhatikan kondisi lingkungan kerja. Dilihat dari aspek fisik suatu perusahaan perlu memeprhatikan pencahayaan, temperatur, desain ruangan, dan lain sebagainya. Hal ini akan membuat karyawan merasa lebih diperhatikan kesejahteraan hidupnya.
2.         Kondisi psikologis karyawan juga hendaknya diperhatikan dimana lingkungan yang nyaman akan membuat karyawan bekerja lebih efektif. Kondisi psikologis ini dapat diciptakan dengan memberikan kepercayaan kepada karyawan, memberikan penghargaan atas kerja-kerja karyawan, membangun hubungan yang baik dengan karyawan, meningkatkan tingkat keamanan karyawan dalam bekerja, peningkatan phsycological empowerement,dan lain-lain.
3.         Saat open recruitment karyawan, perlu adanya seleksi yang tepat agar pada saat bekerja karyawan bisa menyesuaikan dengan kapasitas dan lingkungan organisasi dengan baik.



DAFTAR PUSTAKA
·         Pay, Working Condition, and Teacher Quality (2007).
·         Psychological Empowerment, Job Insecurity, and Employee Engagement (2010).
·         Schultz P. Duane & Schultz E.S.2010.Phsycology and Work Today.United States of America : Pearson Education.
·         The Effects of Job Characteristics and Working Conditions on Job Performance (2007).
·         The influence of work environment on workers productivity: A case of selected oil and gas industry in Lagos, Nigeria (2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar