BAB
1 – PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Working
condition atau kondisi kerja dapat diartikan sebagai serangkaian kondisi atau keadaan lingkungan
kerja dari suatu perusahaan yang menjadi tempat bekerja dari para karyawan yang
bekerja di dalam lingkungan tersebut. Kondisi kerja dalam konteks ini adalah
kondisi kerja yang baik, nyaman dan mendukung pekerja untuk dapat menjalankan
aktivitasnya dengan baik, meliputi segala sesuatu yang ada di lingkungan
karyawan yang dapat mempengaruhi kinerja, serta keselamatan dan
keamanan kerja, temperatur, kelambaban, ventilasi, penerangan, kebersihan dan
lain-lain.
Kondisi
kerja ini sangat mempengaruhi kinerja para karyawan dalam bekerja. Kondisi
kerja yang kondusif sangat membantu karyawan dalam meningkatkan produktivitas.
Lingkungan kerja yang harmonis yang dipengaruhi faktor-faktor seperti kondisi
psikologis, kondisi fisik dari masing-masing karyawan harus menjadi perhatian
dalam menciptakan kondisi kerja yang kondusif.
Selain
kondisi psikologis dan kondisi fisik dari masing-masing karyawan, sebuah
organisasi dalam hal ini perusahaan, harus mempunyai kondisi psikologis dan
fisik pula yang kondusif. Kondisi fisik yang dimiliki perusahaan antara lain
tingkat pencahayaan, sirkulasi udara, suhu ruangan, tingkat kebisingan yang
ditimbulkan dari mesin apabila perusahaan tersebut menggunakan mesin, dan lain
sebagainya. Sedangkan kondisi psikologis yang dimiliki perusahaan antara lain
adalah menciptakan feeling of privacy
dan sense of status and impotance
dari layout atau tata letak perusahaan.
Kondisi
psikologis dari lingkungan kerja dapat mempengaruhi kinerja yang meliputi
perasaan yang bersifat pribadi atau kelompok, status dihubungkan dengan
sejumlah lokasi ruang kerja dan sejumlah pengawasan atau lingkungan kerja. Ketika
perusahaan mampu memberikan fasilitas tersebut, perusahaan mampu menciptakan
kondisi kerja yang kondusif dan kinerja karyawan akan menyebabkan optimalnya
produktivitas perusahaan.
Berdasarkan latar
belakang diatas, penulis mencoba untuk mengintepretasi beberapa jurnal
internasional mengenai kondisi kerja agar dapat lebih memahami permasalahan
atau pengaruhnya.
1.2.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam
makalah ini untuk membatasi lingkup bahasan materi working condition atau kondisi kerja yang akan dibahas, serta
merumuskan masalah-masalah apa yang terjadi dalam working condition atau kondisi kerja berdasarkan jurnal, sehingga
dapat diambil manfaatnya dalam kenyataan kondisi kerja organisasi atau
perusahaan.
1. Adakah
pengaruh working condition atau
kondisi kerja dengan tingkat kualitas pekerjaan seseorang (dalam hal ini adalah
pekerjaan guru) pada tingkat pengupahan yang sama?
2. Adakah
pengaruh working condition atau
kondisi kerja terhadap produktivitas (dalam hal ini observasi di daerah
Nigeria)?
3. Adakah
pengaruh working condition atau
kondisi kerja dengan aspek-aspek psiko-sosial
antara lain job engagement atau
komitmen terhadap pekerjaan tersebut serta bagaimana pengaruhnya dengan job insecurity?
4. Apakah
performa kinerja atau job performance
dipengaruhi oleh kondisi kerja atau working
condition dan job characteristic?
1.3.
Tujuan
1. Mengetahui
pengaruh working condition atau kondisi kerja dengan tingkat kualitas pekerjaan
seseorang (dalam hal ini adalah pekerjaan guru) pada tingkat pengupahan yang
sama.
2. Mengetahui
pengaruh working condition atau kondisi kerja terhadap produktivitas.
3. Mengatahui
pengaruh working condition atau kondisi kerja dengan aspek-aspek psiko-sosial
antara lain job engagement atau komitmen terhadap pekerjaan tersebut serta
bagaimana pengaruhnya dengan job insecurity.
4. Mengetahui
bahwa performa kinerja atau job performance dipengaruhi oleh kondisi kerja atau
working condition dan job characteristic atau tidak.
BAB 2 – DASAR TEORI
Menurut
Stewart and Stewart (1983), kondisi kerja atau working condition adalah serangkaian kondisi atau keadaan lingkungan kerja dari
suatu perusahaan yang menjadi tempat bekerja dari para karyawan yang bekerja
didalam lingkungan tersebut. Kondisi kerja dalam konteks ini adalah kondisi kerja
yang baik, nyaman dan mendukung pekerja untuk dapat menjalankan aktivitasnya
dengan baik, meliputi segala sesuatu yang ada di lingkungan karyawan yang dapat
mempengaruhi kinerja, serta keselamatan dan keamanan kerja, temperatur,
kelambaban, ventilasi, penerangan, kebersihan dan lain-lain. Hal tersebut dapat
membantu karyawan atau pekerja untuk meningkatkan produktivitasnya.
Sedangkan menurut Newstrom (1996) kondisi kerja berhubungan dengan penjadwalan dari
pekerjaan, lamanya bekerja dalam hari dan dalam waktu sehari atau malam selama
orang-orang bekerja. Hal ini perlu diatur untuk
menciptakan kondisi kerja yang proporsional sehingga dapat meningkatkan
keefektivitasan untuk berproduksi.
BAB 3 – PEMBAHASAN
Untuk
dapat mengetahui pengaruh working condition atau kondisi kerja dengan tingkat
kualitas pekerjaan seseorang (dalam hal ini adalah pekerjaan guru) pada tingkat
pengupahan yang sama, kami mereview
dan mengintepretasi sebuah jurnal yang relevan dengan topik ini. Dalam jurnal “Pay, Working Conditions, and Teacher Quality”
yang ditulis oleh Eric A. Hanushek and Steven G. Rivkin
(tahun 2007) meneliti bagaimana pengaruh upah dan kondisi kerja terhadap
kualitas instruksi/pengajaran di kelas. Upah guru relatif terhadap guru-guru
yang lulusan perguruan tinggi telah turun sejak tahun 1940an. Hari ini upah
rata-rata sedikit berbeda antara perkotaan dengan daerah pinggiran. Dibeberapa
daerah metropolitan/perkotaan guru diberi upah lebih, di beberapa daerah
pinggiran pun guru diberi upah lebih. Padahal kondisi kerja kedua daerah
tersebut berbeda secara substansial. Guru-guru di daerah perkotaan melaporkan
bahwa biaya administrasi di sekolah mereka lebih sedikit, dukungan orang tua
murid lebih rendah, kondisi material/bangunan yang buruk, dan masalah siswa
yang lebih besar dari pada di sekolah daerah pinggiran. Kondisi kerja yang
sulit dapat mendorong perbedaan dalam perpindahan (turnover) dan transfer guru di seluruh sekolah.
Menggunakan
data dari sekolah publik di Texas, penulis mendiskripsikan secara detail apa yang terjadi ketika guru-guru pindah dari
satu sekolah ke sekolah yang lain. Mereka meneliti bagaimana gaji dan karakter
siswa berpengaruh terhadap perpindahan guru dan apakah perpindahan guru
tersebut mempengaruhi kualitas guru dan pencapaian prestasi siswa. Penulis
mencatat bahwa upah dan karakteristik siswa mempengaruhi pilihan guru terhadap
suatu sekolah (perpindahan guru) dan mengakibatkan pemilahan guru di seluruh
sekolah tersebut. Namun, penulis menemukan sedikit bukti guru
transitions/pindahan merugikan siswa dalam proses pembelajaran. Sejauh mana
variasi dalam gaji dan kondisi kerja yang diterjemahkan ke dalam perbedaan mutu
pengajaran tergantung pada efektivitas kebijakan sekolah masing-masing dalam
memperkerjakan dan mempertahankan guru yang paling efektif.
Para
penulis menyimpulkan bahwa kenaikan gaji keseluruhan untuk guru adalah cara
yang mahal dan tidak efektif. Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas
pengajaran adalah dengan cara menghambat atau mempersulit kesempatan bagi guru
untuk pindah dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Dapat dilakukan dengan
cara memperketat peraturan penerimaan guru, seperti guru harus memiliki
sertifikasi, dan menghubungkan kompensasi dan kemajuan karir yang lebih erat
dengan kemampuan guru untuk meningkatkan kinerja siswa.
Sedangkan,
untuk mengetahui pengaruh working condition atau kondisi kerja terhadap
produktivitas, kami telah mereview sebuah jurnal berjudul “The
Influence of Work Environment on Workers Productivity: A Case of Selected Oil
and Gas Industry in Lagos, Nigeria” yang ditulis oleh Akinyele Samuel Taiwo
(tahun 2009). Dalam jurnal ini diperoleh beberapa kesimpulan sbb:
·
86% dari masalah produktivitas berada di lingkungan kerja
organisasi.
·
Lingkungan kerja eksternal maupun internal seperti sebuah
kebijakan bagi para karyawan. Jika lingkungan tidak kondunsif maka yang
terjadi adalah tidak adanya kenaikan produktivitas pekerja.
·
Dari kuesioner yang dikembalikan responden menggambarkan lingkungan kerja mereka berbeda dari
pandangan bahwa lingkungan kerja mereka sangat kondusif dan nyaman.
·
Kita menerima hipotesis nol dan menolak hipotesis alternatif. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa perbaikan di lingkungan kerja dapat menyebabkan
lebih tinggi produktivitas karyawan.
·
Hipotesis pertama dari penelitian ini adalah menyatakan demikian:
Kondisi kerja yang buruk menurunkan produktivitas karyawan.
·
Sebaiknya
dilakukan perbaikan kondisi lingkungan kerja demi tingginya tingkat
produktivitas, yang secara langsung akan berdampak pada kemajuan perusahaan.
·
Lingkungan
kerja yang kondunsif juga akan merangsang kreativitas karyawan.
·
Temuan yang didapat dari jurnal ini adalah:
1. Dasar faktor-faktor dalam
lingkungan kerja eksternal khususnya penyediaan infrastruktur yang tidak memadai
dari beberapa fasilitas telah mempengaruhi
produktivitas.
2. Faktor-faktor dalam
lingkungan kerja internal khususnya, tekanan pekerjaan terkait juga
memiliki efek negatif terhadap produktivitas kerja mereka. Ditambah
dengan ini adalah faktor manusia, yaitu, hubungan pekerja dengan manajemen
dan, atau rekan kerja, tingkat tunjangan terutama manfaat non-tunai, serta faktor-faktor terkait dengan penduduk disekitar tempat bekerja.
3.
Sejumlah fasilitas fisik dan psikologis faktor-faktor yang dianggap tepat
untuk meningkatkan produktivitas saat ini harapan tenaga kerja.
4.
Beberapa terkait dengan kebijakan ketenagakerjaan/pekerjaan seperti orientasi bagi pekerja baru,
kesempatan untuk pelatihan dan
pengembangan, promosi, pekerjaan dll keamanan saat ini dianggap tidak menguntungkan bagi pekerja dan
karena itu memiliki dampak negatif untuk
produktivitas.
· Penelitian ini telah
memberikan wawasan pengaruh lingkungan kerja pada produktivitas pekerja. Temuan
ini menunjukkan bahwa 42,63% dari responden
yang berpendapat bahwa lingkungan kerja tidak
bisa meningkatkan produktivitas mereka dan sisanya 57,37% dari responden
berpendapat bahwa lingkungan kerja bisa meningkatkan produktivitasnya. 70,49%
dari responden yang berpendapat bahwa gaji
tinggi, lingkungan kerja yang baik dan kondunsif adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan peningkatan produktivitas pekerja dan 3,28% responden tidak tahu bagaimana untuk meningkatkan produktivitas mereka. 63,30% dari responden yg mengalami stres, kelelahan, sakit, kebosanan, demotivasi dan ketidakbahagiaan. Persentase ini tinggi dan perbaikan dalam lingkungan kerja mereka dianjurkan untuk meningkatkan
produktivitas pekerja. Hasil uji analisis T menunjukkan karyawan yang bermasalah dalam produktivitas lingkungan. Semua upaya ditargetkan untuk mengurangi masalah produktivitas karyawan harus diarahkan pada lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang kondusif merangsang kreativitas karyawan yang dapat menyebabkan metode yang lebih baik yang akan meningkatkan produktivitas. Hal ini juga disimpulkan berdasarkan T-hasil tes bahwa perbaikan di lingkungan kerja dapat menyebabkan produktivitas yang lebih
tinggi dari karyawan dan kerja yang buruk.
· Kondisi berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas karyawan.
Merumuskan
masalah selanjutnya, untuk mengatahui pengaruh working condition atau kondisi kerja dengan aspek-aspek
psiko-sosial antara lain job engagement
atau komitmen terhadap pekerjaan tersebut serta bagaimana pengaruhnya dengan job insecurity, kami juga telah mereview dan mengintepretasi sebuah jurnal
yang relevan dengan topik ini. Berdasarkan jurnal “Psychological Empowerment, Job Insecurity and Employee Engagement”
yang ditulis oleh Marius W. Stander
& Sebastiaan Rothmann (2010) didapat kesimpulan sebagai
berikut.
Keterlibatan
karyawan (Mei Gilson & amp; Harter, 2004) dan empowerment psychological (Spreitzer, 1995) merupakan
konsep-konsep penting untuk dipertimbangkan ketika berhadapan dengan perubahan di tempat kerja dan
peningkatan kinerja. Psychological
empowerement mampu meningkatkan
kontrol pribadi
karyawan dan memotivasi mereka untuk terlibat dalam pekerjaan, yang pada
akhirnya mengakibatkan
hasil positif manajerial dan organisasi
(Quinn & amp; Spreitzer, 1997)
Conger
dan Kanungo (1988) menggambarkan pemberdayaan sebagai proses dimana kondisi
yang mendorong
ketidakberdayaan diidentifikasi dan dihapus dengan menyediakan informasi,
sehingga meningkatkan efikasi diri karyawan. Menurut Spreitzer (1995), psychological empowerement mengacu pada pengalaman u2019s % individu
memotivasi yang didasarkan pada kognisi tentang dirinya sendiri dalam hubungannya
dengan peran pekerjaan.
Greco,
Laschinger dan Wong (2006) menyatakan masuk akal untuk berharap, jika karyawan
memiliki pengalaman kerja yang sesuai dengan harapan dan kondisi kerja mereka,
mereka akan lebih terlibat dalam pekerjaan mereka.Karyawan yang terlibat
memiliki hubungan yang energik dan efektif dengan aktivitas kerja mereka dan
melihat diri mereka mampu sepenuhnya menghadapi tuntutan pekerjaan
tersebut (Schaufeli, Salanova,
Gonzáles-Romá & Bakker, 2002)
Penelitian
Sparks, Faragher dan Cooper (2001) menunjukkan bahwa persepsi job insecurities berkorelasi negatif
dengan kesejahteraan karyawan. Karena job
insecurities dianggap sebagai ancaman dan menunjukkan ketidakpastian, ini
dideskripsikan oleh karyawan sebagai
stres, yang sering dikaitkan dengan ketidakberdayaan (Witte De, 1999; De Cuyper
& amp; Witte de, 2005; N’swall,
Sverke & amp; Hellgren, 2005). Persepsi karyawan terhadap job insecurities dapat menyebabkan
organisasi menderita secara finansial terkait ketidakhadiran dan menurunnya
kesejahteraan karyawan (Sparks et al., 2001).
Kekhawatiran lain organisasi yang disebabkan oleh job insecurities adalah peningkatan turnover karyawan, penurunan produktivitas pekerja, dan tingkat
yang lebih rendah dari komitmen, keterlibatan karyawan, kepuasan, kesetiaan,
dan kepercayaan di mata karyawan.
Pengertian
psychological empowerment and employee engagement
sendiri menurut Spreitzer (1995), psychological
empowerement muncul ketika karyawan
menganggap mereka memiliki kendali atas kehidupan kerja mereka. Pemberdayaan
psikologis bukanlah atribut tetap kepribadian. Tetapi terdiri dari kognisi yang
dibentuk oleh lingkungan kerja. Sedangkan job
insecurities berkaitan dengan orang-orang dalam konteks pekerjaan mereka
yang takut bahwa mereka mungkin kehilangan pekerjaan mereka dan menjadi
pengangguran (De Witte, 1997, 1999). Probst (2002) mendefinisikan job insecurities sebagai persepsi
stabilitas dan kelanjutan dari suatu pekerjaan. Menurut definisi yang diajukan
oleh Greenhalgh dan Rosenblatt (1984, p. 438), job insecurities mengacu pada bagaimana menjaga kesinambungan yang
diinginkan dalam pekerjaan yang sedang terancam situasi.
De
Cuyper et al. (2008) menemukan job
insecuritiea secara statistik merupakan faktor negatif berkaitan
keterlibatan karyawan (r =-0.18). Para peneliti juga menyarankan bahwa job insecurities mungkin menyebabkan perasaan uncontrollability yang tidak dapat
diprediksi. Oleh karena itu, psychological
empowerment dipengaruhi oleh seberapa aman karyawan merasakan peran
pekerjaan mereka. Individu akan merasa diberdayakan ketika mereka merasa aman
tentang diri mereka sendiri. Ketidakamanan dapat mengalihkan karyawan dari
perasaan yang diberdayakan. Hal ini mungkin mengakibatkan keterlibatan karyawan
yang lebih rendah.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa job
insecurities memiliki efek utama pada tiga dimensi psikologis pemberdayaan
(competence, meaning, and impact) dan
keterlibatan karyawan. Oleh karena itu, individu yang mengalami tujuan dalam
pekerjaan mereka percaya bahwa mereka memiliki keterampilan dan kemampuan untuk
dapat mempengaruhi sistem yang sudah tertanam, dan yang memiliki tujuan self-endorsed (Mishra & amp;
Spreitzer, 1998 Quinn & amp; Spreitzer, 1997) serta lebih terlibat dalam
pekerjaan mereka.
Karyawan
yang takut bahwa mereka akan kehilangan pekerjaan mereka mungkin mengalami
kehilangan makna (yaitu rasa atas tujuan yang ingin dicapai), kompetensi (yaitu
keyakinan mereka bahwa mereka memiliki keterampilan dan kemampuan untuk
melakukan pekerjaan mereka dipengaruhi), dan dampak (yaitu keyakinan mereka
bahwa mereka dapat mempengaruhi sistem yang tertanam dipengaruhi). Greasley et
al. (2005) menemukan bahwa pekerja yang menganggap diri mereka diberdayakan
akan berkurang job insecuritiesnya .
Berikut adalah pola hubungan dari employee empowerment, job insecurity dan employee engagement :
Supervisor
dan manajer harus membuat lingkungan kerja di mana karyawan menganggap
pekerjaan mereka sebagai bermakna dan di mana mereka merasa bahwa mereka dapat
mempengaruhi suatu hal dalam organisasi (Mei et al, 2004). Mereka juga harus
membangun kompetensi karyawan. Selain itu, mereka dapat membuat iklim kerja
yang mendukung otonomi dengan mempertimbangkan perspektif karyawan, menyediakan
pilihan yang lebih besar, dan mendorong self-initiation
(Gagne & amp; Deci, 2005).
Bahasan
selanjutnya adalah untuk mengetahui bahwa performa kinerja atau job performance dipengaruhi oleh kondisi
kerja atau working condition dan job characteristic atau tidak. Maka dari
itu, kami mereview sebuah jurnal dengan judul “The Effects of Job Characteristics and Working
Conditions on Job Performance” yang ditulis oleh Emin Kahya (2007). Job Performance bisa
dianggap sebagai variabel dependen yang paling penting pada industrial dan
organizational psikologi.
Borman
dan Motowidlo (1993) membagi employee
behaviour pada 2 kelas besar: Task
Performance dan Contextual
Performance. Keduanya berkontribusi pada keefektifan organisasi namun
dengan cara yang berbeda. Task
Performance adalah pola perilaku yang secara langsung masuk dalam produksi
barang atau jasa atau aktivitas yang menyediakan indirect support untuk proses teknis inti pada organisasi tersebut.
Contextual performance adalah usaha
individu yang tidak secara langung terkait dengan fungsi tugas utamanya namun
penting karena hal ini membentuk konteks organisasional, sosial, dan psikologis
yang menjadi katalis penting untuk task
activities dan processes (Werner, 2000). Contoh contextual performance adalah ketika pekerja membantu pekerja lain
dalam melaksanakan tugasnya, kooperatif dengan supervisornya, atau memberi usul
untuk meningkatkan efektifitas proses produksi.
Hasil
dari beberapa penelitian yang memasukan variabel seperti umur, gender, pengalaman, dan organizational politics, pada umumnya
menghasilkan bahwa job experience dan
tingkat edukasi memiliki efek direct dan
indirect pada job performance. Sebagai contoh, Schmidt (1986), Moser (1999), dan
Posthuma (2000) melaporkan rata-rata korelasi sebesar 0.09-0.18 antara experience dan job performance. Hal ini menunjukan bahwa untuk pekerjaan yang
semakin kompleks sebuah pekerjaan, kenaikan pada job experience berarti semakin tingginya tingkat job knowledge dan task performance. Berlaku juga sebaliknya untuk pekerjaan yang
rendah kekompleksannya.
Salah
satu concern utama dalam perusahaan
manufaktur adalah meningkatkan produktifitas pekerja, yang mana merupakan salah
satu job performance measures.
Menurut penelitian tentang faktor ergonomik yang membuat produktifitas pekerja
rendah oleh Shikdar dan Sawaqed (2003) pada enam industri berbeda mendapatkan
r=0.234 antara indikator performa dan faktor lingkungan. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin tingginya masalah pada lingkungan kerja
berhubungan dengan masalah-masalah performa kerja seperti produktifitas rendah
dan tingginya tingkat absen pekerja.
Pada literatur job performance, belum ada riset yang menunjukan efek potensial job characteristics dan working conditions pada task and contextual performance. Pekerja
blue-collar yang bekerja di pekerjaan
manufaktur membutuhkan tenaga fisik selama melakukan tugasnya seperti
mengangkat, merunduk, berdiri, berjalan, dan mendorong. Hal-hal diatas
memforsir energi pekerja dan terkonversi menjadi waste activities seperti peralatan dan metode yang tidak efisien,
dan postur yang tidak berguna.
Pada
literatur job evaluation, kondisi
kerja atau working condition terbagi
dalam dua dimensi: environmental
conditions dan hazards.
Environmental conditions ada dalam keadaan biasa hingga ekstrim yang mencakup
suhu, kelembapan, kebisingan, bau, tingkat penerangan, dan debu. Kondisi lingkungan
yang tidak nyaman akan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi job performance dan dapat menyebabkan
meningkatnya kos.Hazards
adalah hal-hal langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat dihindari
seperti bahaya listrik, cahaya, benda mudah terbakar, penyakit pekerjaan, dan
resiko kematian. Permasalahan hazards
biasanya terjadi karena tingkat keamanan yang rendah.
Riset
dilakukan di perusahaan manufaktur skala medium yang memproduksi berbagai tipe
tractor cabin. Empat belas supervisor menjadi rater (tiap supervisor adalah
first-line manager dari satu atau dua tim. Semua supervisor berpartisipasi
dalam beberapa one-day workplace training
courses yang mengkover prinsip asessmen.
Sebanyak
154 blue-collar employees dari
berbagai divisi/tim juga berpartisipasi dalam studi ini. Pekerja-pekerja
tersebut sudah bekerja paling tidak empat bulan di perusahaan tersebut sehingga
bisa lebih fair ketika dinilai oleh supervisornya.
Kuisioner
job analysis dibuat untuk mendapatkan informasi pekerjaan dalam 14 job evaluation faktor yang diadopsi dari
Metal Industry Job Grading System (MIJGS) (1996) untuk menentukan job characteristics dan working conditions.
Ada
beberapa penemuan yang menarik, job grade
berkorelasi kuat dengan task performance
(r = 0.456, p<0.01) dan contextual
performance (r=0.411, p<0.01). Environmental
conditions berkorelasi secara signifikan dengan task performance (r=0.332,p<0.01), tidak berhubungan dengan
contextual performance (r=0.058). Koefisien korelasi tertinggi sebesar r=0.622,
p<0.001 terjadi antara environmental
conditions dan
physical effort, berarti semakin buruk
environmental condition-nya maka semakin tinggi physical effort-nya.
Dalam
literatur performace evaluation,
walaupun banyak studi sistematis telah memasukan ke efek potensial beberapa
variabel seperti umur, gender, pengalaman, dan politik organisasional, ini
adalah investigasi pertama yang mengindikasikan pengaruh job characteristics dan workplace
conditions pada job performance.
Borman
dan Motowidlo (1993) menyebutkan sumber utama dalam task performance adalah profisiensi yang mana seseorang dapat
menyelesaikan task activities. Ini
berarti perbedaan individu dalam pengetahuan, skill, dan kemampuan harus lebih
berhubungan dengan task performance daripada contextual performance. Pengalaman mungkin mempunyai dampak
langsung maupun tidak langsung pada job
performance. Kenaikan dalam pengalaman dapat menghasilkan kenaikan dalam
pengetahuan kerja, yang akan meningkatkan job performance.
Pekerja
yang berpengalaman mungkin akan mendapat kesulitan dalam adaptasi dalam
bersosialoisasi dengan situasi baru atau akan melakukan sesuatu untuk
meningkatkan kemampuannya dan tidak membantu orang lain. Korelasi antara job performance dan tingkat edukasi
tidak sesuai dengan pola hasil yang diprediksi.
Penemuan
riset menunjukan bahwa job grade
secara kuat berkorelasi dengan task and
contextual performance. Ini mengindikasikan secara umum bahwa pekerja yang
berkualifikasi dalam pekerjaan tersebut
akan memiliki job performance
yang lebih tinggi.
Salah
satu kontribusi dari studi ini adalah menjelaskan efek dari working conditions pada job performance. Faktor ergonomik harus
jadi sebuah hal yang diperhatikan karena dengan bekerja nyaman maka pekerja
akan memiliki job performance yang
lebih tinggi. Physical effort: Physical effort yang intens akan menyebabkan
menurunnya job performance. Hasil
penelitian menunjukan physical condition punya efek yang signifikan pada
kualitas, kooperatifitas, dan kreatifitas.
Environmental
conditions: Secara tidak terduga, environmental conditions berkorelasi
secara kuat dengan kriteria “following
organizational rules”,“cooperating”,
dan “concentrating”. Pekerja yang
bekerja dibawah kondisi kerja yang tidak nyaman akan bertendensi mematuhi
peraturan organisasi dan juga lebih berkonsentrasi lebih dalam melakukan
pekerjaannya. Di sisi lain, environmental
conditions menurukan cooperation
diantara teman kerja untuk menyelesaikan pekerjaan. Pekerja menunjukan tingkat
konsentrasi yang rendah dan tingkat absen yang tinggi ketika bekerja pada
tempat yang berbahaya. Dapat dikatakan, untuk pekerjaan yang lebih kompleks,
perbaikan kondisi kerja dapat mengurangi dampak task performance dan contextual
performance dalam pekerjaan yang berbeda-beda dan terus berkontribusi dalam
job performance.
BAB 4 – PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari review jurnal yang kami
lakukan,
maka penulis menyimpulkan :
1.
Upah
dan karakteristik siswa mempengaruhi pilihan guru terhadap suatu sekolah
(perpindahan guru) dan mengakibatkan pemilahan guru di seluruh sekolah
tersebut. Cara terbaik untuk meningkatkan
kualitas pengajaran adalah dengan cara menghambat atau mempersulit kesempatan
bagi guru untuk pindah dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Dapat dilakukan
dengan cara memperketat peraturan penerimaan guru, seperti guru harus memiliki
sertifikasi, dan menghubungkan kompensasi dan kemajuan karir yang lebih erat
dengan kemampuan guru untuk meningkatkan kinerja siswa. Beberapa terkait dengan kebijakan
ketenagakerjaan/pekerjaan seperti orientasi bagi pekerja baru, kesempatan untuk pelatihan
dan pengembangan, promosi, pekerjaan, dll.
2.
Ada pengaruh working condition terhadap produktivitas. Kesimpulan
ini didapat dari hasil penelitian di perusahaan minyak dan gas di Nigeria. Temuan
ini menunjukkan bahwa 42,63% dari responden yang berpendapat bahwa lingkungan kerja tidak bisa
meningkatkan produktivitas mereka dan sisanya 57,37% dari responden berpendapat
bahwa lingkungan kerja bisa meningkatkan produktivitasnya. 70,49% dari
responden yang berpendapat bahwa gaji
tinggi, lingkungan kerja yang baik dan kondunsif adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan peningkatan produktivitas pekerja dan 3,28% responden tidak tahu bagaimana untuk meningkatkan produktivitas mereka. 63,30% dari responden yg mengalami stres, kelelahan, sakit, kebosanan, demotivasi dan ketidakbahagiaan.
3.
Psychological
empowerement mampu
meningkatkan kontrol
pribadi
karyawan dan
memotivasi
karyawan untuk terlibat dalam
pekerjaan, yang pada akhirnya
mengakibatkan
hasil positif manajerial dan organisasi
(Quinn & amp; Spreitzer, 1997).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa job insecurities memiliki efek utama pada tiga dimensi psikologis
pemberdayaan (competence, meaning, and
impact) dan keterlibatan karyawan. Karyawan yang takut bahwa mereka akan
kehilangan pekerjaan mereka mungkin mengalami kehilangan makna (yaitu rasa atas
tujuan yang ingin dicapai), kompetensi (yaitu keyakinan mereka bahwa mereka
memiliki keterampilan dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan) dan dampak (yaitu
keyakinan mereka bahwa mereka dapat mempengaruhi sistem yang tertanam). Supervisor dan manajer
harus membuat lingkungan kerja di mana karyawan menganggap pekerjaan mereka
sebagai bermakna dan di mana mereka merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi
suatu hal dalam organisasi (Mei et al, 2004).
4. Kenaikan
dalam pengalaman dapat menghasilkan kenaikan dalam pengetahuan kerja,
yang
akan meningkatkan job performance.
Pekerja menunjukan tingkat konsentrasi yang rendah dan tingkat absen yang
tinggi ketika bekerja pada tempat yang berbahaya. Dapat dikatakan, untuk
pekerjaan yang lebih kompleks, perbaikan kondisi kerja dapat mengurangi dampak task performance dan contextual performance dalam pekerjaan
yang berbeda-beda dan terus berkontribusi dalam job performance.
4.2 Saran
Penulis akan
menyampaikan beberapa saran yang bisa dilakukan oleh suatu organisasi atau
perusahaan dalam menciptakan keefektifan dalam organisasi :
1.
Dalam suatu
perusahaan perlu memperhatikan kondisi lingkungan kerja.
Dilihat dari aspek fisik suatu perusahaan perlu
memeprhatikan pencahayaan, temperatur, desain
ruangan,
dan lain sebagainya.
Hal ini akan membuat karyawan merasa lebih diperhatikan
kesejahteraan hidupnya.
2.
Kondisi
psikologis karyawan juga hendaknya diperhatikan
dimana lingkungan yang nyaman akan membuat karyawan
bekerja lebih
efektif.
Kondisi psikologis ini dapat diciptakan dengan
memberikan kepercayaan kepada karyawan, memberikan penghargaan atas kerja-kerja karyawan,
membangun hubungan yang baik dengan karyawan,
meningkatkan tingkat keamanan karyawan dalam bekerja,
peningkatan phsycological
empowerement,dan lain-lain.
3.
Saat open recruitment karyawan,
perlu adanya seleksi yang tepat
agar pada saat bekerja karyawan bisa menyesuaikan
dengan kapasitas dan lingkungan organisasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
·
Pay, Working Condition,
and Teacher Quality (2007).
·
Psychological
Empowerment, Job Insecurity, and Employee Engagement (2010).
·
Schultz P. Duane
& Schultz E.S.2010.Phsycology and Work Today.United States of America :
Pearson Education.
·
The Effects of Job
Characteristics and Working Conditions on Job Performance (2007).
·
The influence of work
environment on workers productivity: A case of selected oil and gas industry in
Lagos, Nigeria (2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar