Kewajiban Karyawan dan Perusahaan
BAB I
PENDAHULUAN
Etika
pada dasarnya adalah standar atau moral yang menyangkut benar-salah, baik-buruk
seperti apa yang dikatakan oleh perasaan sesorang, tetapi anggapan seseorang
atas perasaannya yang menganggap bahwa sesuatu yang dianggap benar belum tentu
perasaan orang lain menganggap bahwa hal itu benar atau sesuai dengan
etika. Dalam kerangka konsep etika
bisnis terdapat pengertian tentang etika perusahaan, etika kerja dan etika
perorangan, yang menyangkut hubungan-hubungan sosial antara perusahaan,
karyawan dan lingkungannya. Etika perusahaan menyangkut hubungan perusahaan dan
karyawan sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya (misalnya dengan perusahaan
lain atau masyarakat setempat), etika kerja terkait antara perusahaan dengan
karyawannya, dan etika perorangan mengatur hubungan antar karyawan.
Masalah etika sangat kompleks, tersebar di berbagai
disiplin ilmu. Perusahaan dalam hal ini, dalam kelangsungan hidupnya menghadapi
berbagai pengaruh baik dari luar maupun dalam perusahaan. Dari dalam perusahaan
adalah yang berhubungan dengan karyawan. Khususnya bagaimana pelaksanaan etika
hubungannya dengan hak dan kewajiban karyawan terhadap perusahaan dan
sebaliknya.
Dalam etika bisnis terdapat kewajiban
dua pihak, yaitu pada karyawan dan pada perusahaan, awalnya kita mulai dengan
menyoroti kewajiban karyawan pada perusahaan kemudian kita selanjutnya
membalikan perspektifnya dengan memfokuskan kewajiban perusahaan terhadap
karyawan. Makalah ini membahas tentang kewajiban-kewajiban karyawan dan
perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN
- Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan
·
Ada tiga kewajiban
karyawan terhadap perusahaan yang penting,.
1. Kewajiban
Ketaatan
Karyawan
harus taat kepada atasannya di perusahaan khususnya dalam kaitannya dengan
pekerjaan di perusahaan. Tetapi karyawan tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan
sesuatu yang tidak bermoral, misalnya: penipuan, membunuh musuh dll. Karyawan
tidak wajib mematuhi perintah yang tidak wajar yaitu perintah yang tidak
diberikan demi kepentingan perusahaan, misalnya menyuruh bawahan merenovasi
rumah atasan. Karyawan tidak perlu mematuhi perintah
yang tidak sesuai job discription
2. Kewajiban
Konfidensialitas
Yaitu kewajiban untuk menyimpan informasi yang
bersifat rahasia yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi,
misalnya dokter, psikolog, pengacara, pendeta, ulama, akuntan. Kewajiban
kerahasiaan tidak saja berlaku selama karyawan bekerja di perusahaan, tetapi
berlangsung terus setelah ia pindah kerja. Yang termasuk rahasia perusahaan
misalnya teknik memproduksi suatu
produk, hasil penelitian dll.
3. Kewajiban
Loyalitas
Kewajiban loyalitas merupakan konsekuensi dari status
seseorang sebagai karyawan perusahaan. Karyawan harus mendukung tujuan-tujuan
perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk turut
merealisasikan tujuan-tujuan tersebut,ia harus menghindari apa yang bisa
merugikan kepentingan perusahaan. Karyawan tersebut berarti melakukan kewajiban
loyalitas. Faktor pengganggu loyalitas adalah konflik kepentingan pribadi dan
perusahaan[1]
Konflik
kepentingan bisa bersifat aktual atau potensial. Konflik kepentingan aktual
terjadi saat seseorang melaksanakan kewajibannya dalam suatu cara yang
menggangu perusahaan dan melakukannya demi kepentingan pribadi. Konflik
kepentingan potensial terjadi saat seseorang, karena didorong kepentingan
pribadi, bertindak dalam suatu cara yang merugikan perusahaan[2].
Dalam
pandangan rasional tentang perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah untuk
bekerja mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan-kegiatan yang
mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti menyimpang
dari tujuan-tujuan tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri dengan
cara-cara yang melanggar hukum dapat
dinyatakan sebagai salah satu bentuk “kejahatan kerah putih”.
Sebagai
administrator keuangan perusahaan, misalnya, manajer keuangan dipercaya
menangani masalah dana dan memiliki tanggungjawab untuk menangani dana tersebut
dalam suatu cara yang mampu meminimalkan risiko sekaligus menjamin tingkat
pengembalian yang tepat bagi pemegang saham perusahaan. Manajer keuangan
memiliki kewajiban kontraktual pada perusahaan dan para investor karena dia
telah menyetujui perjanjian untuk memberikan kinerja terrbaik bagi perusahaan dan melaksanakan
kewenangannya hanya demi pencapaian tujuan perusahaan, dan bukan demi
keuntungan pribadinya. Manajer keuangan dikatakan gagal memenuhi kewajiban
kontraktual pada perusahaan apabila dia menyalahgunakan dana perusahaan,
menghabiskan dana perusahaan secara sia-sia, lalai atau bertindak curang dalam
pembuatan laporan keuangan, memberikan laporan yang salah atau menyesatkan dan
seterusnya.
Pandangan-pandangan
tradsional tentang kewajiban pegawai pada perusahaan membentuk apa yang disebut
“hukum agensi” atau peraturan yang menetapkan kewajiban-kewajiban hukum dari
agen (pegawai) kepada pemimpinnya. Pegawai harus berusaha mencapai tujuan perusahaan dan tidak boleh
melakukan apapun yang berkonflik dengan tujuan-tujuan tersebut pada saat
bekerja pada perusahaan.
Ada
sejumlah situasi dimana pegawai gagal melaksanakan kewajiban untuk mencapai
tujuan perusahaan. Misalnya pegawai melakukan tindakan yang mengakibatkan
terjadinya “konflik kepentingan”, mencuri dari perusahaan, atau menggunakan
jabatannya sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan dari orang lain dengan
melakukan pemerasan atau suap.[3]
·
Melaporkan kesalahan
perusahaan (whistle blowing)
Whistle
blowing adalah
tindakan seorang pekerja yang memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan
internal atau eksternal tentang hal-hal ilegal dan tidak etis yang terjadi di
lingkungan kerja. Hal ini merupakan isu yang penting dan dapat berdampak buruk,
baik kepada individu tersebut maupun organisasi yang dilaporkan (Vinten, 1994).
Menurut Vardi dan Wiener (1996), tindakan ini termasuk tindakan menyimpang
karena menyalahi aturan inti pekerjaan dalam perusahaan yang harus dipatuhi
oleh semua pekerja. Sedangkan menurut Moberg (1997) tindakan ini dikategorikan
sebagai pengkhianatan terhadap perusahaan.
Whistle
Blowing dalam
perusahaan (misalnya atasan) dapat disebut sebagai perilaku menyimpang tipe O jika termotivasi oleh identifikasi
perasaan yang kuat terhadap nilai dan misi yang dimiliki perusahaan, dengan
kepedulian terhadap kesuksesan perusahaan itu sendiri. Sedangkan tindakan whistle blowing yang bersifat ”pembalasan dendam”
dikategorikan sebagai perilaku menyimpang tipe D karena ada usaha untuk menyebabkan
suatu bahaya. Sementara itu, beberapa peneliti menganggap whistle blowing sebagai suatu bentuk tindakan
kewarganegaraan yang baik (Dworkin & Nera, 1997), harus didorong dan bahkan
dianugerahi penghargaan. Namun, whistle blowing biasanya dipandang sebagai perilaku
menyimpang. Para atasan menganggapnya sebagai tindakan yang merusak yang kadang
berupa langkah pembalasan dendam yang nyata (Near & Miceli, 1986). Para
atasan berpendapat bahwa pada saat tindakan yang tidak etis terungkap, maka
mereka harus berhadapan dengan pihak intern mereka sendiri. Penelitian Near
& Miceli mengungkapkan bahwa whistle blower lebih
memilih melakukan aksi balas dendam apabila mereka tidak mendapat dukungan yang
mereka inginkan dari atasannya, insiden yang terjadi tergolong serius, dan
menggunakan sarana eksternal untuk melaporkan kesalahan yang ada.
Kita dapat mengidentifikasi pola
tingkatan dari OMB, yaitu sebuah tindakan tidak pantas yang dilakukan di dalam
organisasi/perusahaan dan anggota dalam perusahaan memutuskan untuk menentang
norma loyalitas kepada perusahaan dan mengungkapkan tindakan tidak pantas tadi
kepada pihak luar. Dampaknya, organisasi/perusahaan akan melakukan tindakan
menyimpang lebih jauh dengan mengambil aksi balas dendam kepada whistle blower tadi.
Perilaku whistle blowing berkembang atas beberapa alasan. Pertama,
pergerakan dalam perekonomian yang berhubungan dengan peningkatan kualitas
pendidikan, keahlian, dan kepedualian sosial dari para pekerja. Kedua, keadaan
ekonomi sekarang telah memberi informasi yang intensif dan menjadi penggerak
informasi. Ketiga, akses informasi dan kemudahan berpublikasi
menuntun whistle blowing sebagai
fenomena yang tidak bisa dicegah atas pergeseran perekonomian ini (Rothschild
& Miethe, 1999).
Tidaklah mudah untuk memastikan
terjadinya whistle blowing. Rothschild & Miethe (1999)
mendapatkan informasi yang menarik tentang hal ini. Dengan menngunakan sampel
pekerja dewasa di US, ditemukan bahwa 37% dari mereka menemukan tindakan
menyimpang di dalam lingkungan kerja mereka dan 62% dari porsi ini melakukan
tindakan whistle blowing. Namun hanya 16% yang melaporkan ke
pihak eksternal, sisanya hanya melapor kepada pihak internal yang memiliki
kuasa lebih tinggi.
Miceli & Nera (1997) memandang whistle blowing sebagai antisocial OB. Antisocial OB adalah
tindakan intens yang bersifat membahayakan yang dilakukan anggota organisasi
terhadap individu, kelompok, atau organisasi. Untuk perilaku whistle blowing yang diklasifikasikan kedalam golongan
ini harus dipastikan tingkat bahaya yang dihasilkan. Perilaku ini sejalan
dengan OMB tipe D, yang juga dianggap sebagai aksi balas dendam.
De George (1986) menetapkan tiga
kriteria atas whistle blowing yang
adil. Pertama organisasi yang dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya
atau kepada kepentingan publik yang luas. Kedua, kesalahan harus dilaporkan
pertama kali kepada pihak internal yang memiliki kekuasaan lebih tinggi, dan
ketiga, apabila penyimpangan telah dilaporkan kepada pihak internal yang
berwenang namun tidak mendapat hasil, dan bahkan penyimpangan terus berjalan,
maka pelaporan penyimpangan kepada pihak eksternal dapat disebut sebagai
tindakan kewarganegaraan yang baik.
Menurut James (1984), whistle blower dalam for-profit organization akan dikenakan pemutusan kerja. Mereka
juga akan masuk dalam blacklist yang
tidak mendapat surat rekomendasi. Sementara itu, dalam non-for-profit organization, whistle blower biasanya dipindahkan, diturunkan
posisinya, dan tidak akan mendapat promosi.
Perilaku whistle blowing dapat terjadi sebagai akibat dari
penanaman nilai yang kuat atas suatu organisasi, mencakup bagaimana dan apa
nilai-nilai serta budaya yang terdapat dalam organisasi tersebut. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaruh sosial dan budaya organisasi
merupakan pengaruh yang kuat terhadap terjadinya whistle blowing.[4]
- Kewajiban Perusahaan Terhadap Karyawan
·
Mengenai Diskriminasi
Diskriminasi
dalam perusahaan adalah membedakan berbagai karyawan karena alasan yang tidak
relevan yang berakar pada prasangka atau stereotip.
Diskriminasi dapat terjadi pada saat perekrutman, seleksi, kenaikan
pangkat,kondisi pekerjaan.
Diskriminasi biasanya terjadi terhadap
ras, agama, dan jenis kelamin.
Bentuk-
bentuk diskriminasi antara lain : Aspek Sengaja dan Aspek institusional.
1. Tindakan
diskriminasi merupakan bagian dari
prilaku terpisah (tidak terinstitusional) dari seseorang yang secara sengaja
dan sadar melakukan diskriminasi karena prasangka.
2. Tindakan
diskriminasi merupakan perilaku rutin
dari kelompok yang terinstitusionalisasi yang segaja dan sadar melakukan
disriminasi berdasarkan prasangka dari para anggotanya.
3. Tindakan
diskriminasi merupakan perilaku terpisah dari seseorang yang secara tidak
sengaja melakukan diskriminasi karena ia menerima dan melaksanakan
praktik-praktik dan steriotip tradisional dari masyarakatnya.
4. Tindakan
diskriminasi kemungkian merupakan rutinitas sistematis organisasi yang secara
tidak sengaja memasukan prosedur formal yang akan mendiskriminasi orang lain.
Indicator
untuk memperkirakan apakah perusahaan
melakukan diskriminasi kepada kelompok tertentu , yaitu:
1. Perbandingan
keuntungan/ penghasilan rata-rata yang diberikan perusahaan pada kelompak yang
terdiskriminasi dengan kelompok lainya.
Contoh gaji antara wanita dan laki-laki lulusan perguruan tinggi.
2. Perbandingan
proporsi kelompok yang terdiskriminasi yang terdapat pada tingkat pekerjaan
yang paling rendah dengan kelompok lain yang sejenis.
3. Perbandingan
proporsi pemegang jabatan yang menguntungkan antara anggota di kelompok
diskriminasi dengan anggota kelompok lain. Cotohnya wanita yang menjadi
pimpinan perusahaan saat ini sangat kecil jumlahnya dibandingkan laki-laki.[5]
Beberapa
beberapa teori etika yang menentang
diskriminasi:
1.
Utilitarisme (Utility)
Diskriminasi
akan mengarahkan pada penggunaan sumber daya manusia yang tidak efisien. Dalam
teori ini menentang diskriminsi didasarkan pada pandangan bahwa produktivitas
dari suatu masyarakat akan optimal jika pekerjaan tersebut sesuai dengan
kemampuannya sehingga diskriminasi
pencari kerja berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, atau karakteristik lain
yang tidak relevan dengan pekerjaan adalah tidak efisien dan bertentangan
dengan prinsip utilitarisme. Akan tetapi teori ini mendapat pertentangan,
karena jika argumen utilitarime tersebut benar , kesejahteraan masyarakat akan
meningkat sepanjang pekerjaan tersebut sesuai dengan kualifikasi yang berkaitan
dengan pekerjaan. Akan tetapi kesejahteraan masyarakat yang diperoleh
berdasarkan faktor lain seperti kebutuhan. Selain itu, diskriminasi yang
berkenaan dengan jenis kelamin, ada kalanya memberikan manfaat yang lebih
kepada perusahaan,seperti rumah tangga yang akan lebih efisien jika dikerjakan
oleh perempuan, sedangkan laki-laki lebih disosialkan kekarakteristik pencari
penghasilan.
Kaum
utilitarism akan menanggapi kritik tersebut bahwa menggunakan faktor-faktro
selain kualifikasi perkerjaan tidak akan menghasilkan yang lebih jika
dibandingkan dengan yang menggunakan kualifikasi.
2.
Deontologi (Right)
Diskriminasi
telah melanggar hak asasi manusia. Terdapat 2 hal yang dilanggar, yaitu:
a.
diskriminasi didasarkan
pada keyakinan bahwa suatu kelompok dianggap lebih rendah dibandingkan kelompok
lain.contohnya orang –orang berkulit hitam atau kaum perempuan yang dianggap
tidak kompeten;
b.
diskriminasi menempatkan kelompok yang
terdiskriminasi dalam posisi social dan
ekonomi yang rendah. Contohnya kaum perempuan dan minoritas yang memiliki
peluang kerja terbatas dan gaji yang kecil.
Dari
kedua hal yang dilanggar ini menbuktikan bahwa hak untuk diperlakukan sebagai
individu yang merdeka dan sederajat.
3.
Teori keadilan
(Justice)
Dalam teori ini
dikemukakan bahwa diskriminasi bertentangan dengan keadilan distributif, yakni
seperti yang disampaikan leh John Rawls
, salah satu prinsip keadilan yang paling penting adalah prinsip kesamaan kah
untuk memperoleh kesempatan, sehingga ketidakadilan social dan ekonomi seharusnya
diatur sedemikian rupa sehingga dapat menyalurkan pekerjaan -pekerjaan terbuka
bagi semua orang. Diskriminasi yang cenderung melakukan perbedaan orang dengan
cara yang berbeda dengan orang lain tanpa alasan yang tepat telah melanggar
prinsip tersebut.[6]
Terdapat 2 pendekatan yang dapat
dilakukan oleh perusahaan untuk melawan diskriminasi ditempat kerja, yaitu:
1. affirmative action law
, suatu program yang didesain untuk memastikan porsi minoritas match dengan
porsi yang ada di perusahaan. perlakuan preferensial khusus (dapat dengan
menhiring kaum minoritas atau wanita untuk menempati posisi yang dianggap stereotip oleh mayoritas) sebagai bentuk kompensasi atas kerugian yang mereka
alami dimasa lalu dan mengintepretasikan perlakuan preferensial sebagai sarana
guna mencapai tujuaan social, seperti keadialan yang merata (instrumental);
2. diversity management program,
suatu program yang didesain untuk mengajarkan karyawan untuk menerima perbedaan
– perbedaan yang ada disekitarnya.
Diversity
management program terdiri atas dua, yaitu:
a.
awareness
based diversity training;
b. skill based diversity
training, dengan cara:
-
cross
cultural understanding: memahami cultural
negara lain;
-
intercultural
communication: belajar untuk memahamin halangan yang
muncul dalam komunikasi secara verbal maupun non verbal;
facilitation
skill: latihan untuk membantu orang lain
meminimalkan kesalahpahaman yang muncul
dari perbedaan budaya;
-
flexibility
and adaptability: latihan untuk menghadapi suatu
perbedaan saat sedang bertransaksi.[7]
·
Kondisi Kerja:
Kesehatan dan Keamanan
Bahaya di tempat kerja
tidak hanya kategori-kategori ancaman yang jelas seperti kecelakaan, tersengat
listrik dan terbakar tetapi juga suhu yang sangat panas atau sangat dingin,
suara keras dari mesin, debu batuan, debu fiber, asap kimia, merkuri, timah,
berilium, arsenik, karat iritasi kulit, radiasi, dsb.
Resiko memang bagian
yang tak terpisahkan dari pekerjaan. Sejauh pekerja memperoleh kompensasi penuh
dalam menghadapi resiko tersebut dan secara sukarela dan sadar menerimanya dan
memperoleh kompensasi sebagai imbalannya, maka kita bisa mengasumsikan bahwa
pengusaha atau perusahaan telah bertindak secara etis.
Perusahaan memiliki
kewajiban dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin bahwa
pegawai tidak dimanipulasi secara tidak adil agar menerima resiko, tanpa
menyadari, dengan paksaan, atau tanpa kompensasi yang layak. Langkah-langkah
tersebut adalah:
1.
perusahaan wajib
menawarkan gaji yang merefleksikan prevalensi risiko- premi dalam pasar kerja yang serupa, namun
kompetitif;
2.
untuk menjamin pegawai
terhadap bahaya yang diketahui, perusahaan perlu memberikan program asuransi
kesehatan yang sesuai;
3.
perusahaan perlu
(secara individual atau bersama perusahaan lain) mengumpulkan informasi tentang
bahaya kesehatan yang terdapat dalam suatu pekerjaan dan menyebarkan informasi
tersebut ke seluruh pegawai.[8]
·
Gaji
Setiap
perusahaan menghadapi dilema ketika menetapkan gaji pegawai. Bagaimana
menyeimbangkan kepentingan perusahaan untuk menekan biaya dengan kepentingan
pegawai untuk memperoleh kehidupan yang layak bagi diri mereka sendiri dan
keluarganya.
Meskipun tidak ada cara
untuk menentukan gaji yang layak dengan pasti, setidaknya bisa mengidentifikasi
sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan gaji dan upah.
1.
Gaji dalam industri dan wilayah tempat seseorang bekerja.
2. Kemampuan
perusahaan. Secara umum, semakin tinggi keuntungan perusahaan, semakin besar
gaji yang dibayarkan paa pegawai dan sebaliknya
3. Sifat
perusahaan. Pekerjaan yang mengandung risiko lebih tinggi, kurang memberikan
jaminan keamanan, memerlukan lebih banyak pelatihan dan pengalaman, memberikan
beban fisik dan emosional yang lebih besar, atau memerlukan tingkat kerja yang
lebih besar, haruslah disertai dengan tingkat kompensasi yang lebih tinggi.
4. Peraturan upah minimum. Upah minimum
yang ditetapkan merupakan dasar gaji yang diberikan. Dalam sebagian besar
kasus, nilai yang lebih rendah dianggap tidak adil.
5. Hubungan
dengan gaji lain. Jika struktur gaji dalam suatu organisasi ingin dianggap
adil, maka para pegawai yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kurang lebih
sama harus diberi gaji yang sebanding.
6. Kelayakan negosiasi gaji. Gaji dan upah
yang dihasilkan dari negosiasi yang tidak dilakukan secara sukarela dimana
salah satu pihak menggunakan penipuan, kekuasaan, ketidaktahuan, atau
ketidakjujuran untuk mencapai tujuannya, maka hal tersebut tidak bisa dikatakan
adil.[9].
BAB III
PENUTUP
Ada
tiga kewajiban karyawan terhadap perusahaan yaitu kewajiban ketaatan,
konfidensialitas, dan loyalitas. Kewajiban tersebut bagi karyawan
Whistle blowing
adalah tindakan seorang pekerja yang memutuskan
untuk melapor kepada media, kekuasaan internal atau eksternal tentang hal-hal
ilegal dan tidak etis yang terjadi di lingkungan kerja.
Selain
membebani karyawan dengan berbagai kewajiban terhadap perusahaan, suatu
perusahaan juga berkewajiban untuk memberikan hak-hak yang sepadan dengan
karyawan. Perusahaan hendaknya tidak melakukan praktek diskriminasi terhadap
karyawan. Perusahaan juga berkewajiban untuk memberikan kondisi kerja yang
memperhatikan kesehatan dan keamanan pekerja, memberikan imbalan gaji yang
adil, dsb.
Hak-hak
yang diterima karyawan hendaknya sesuai dengan kontribusinya ke perusahaan.
Karyawan yang berprestasi diberi haknya berupa bonus atau penghargaan yang
membuat karyawan terpacu untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kinerjanya.
Dengan begitu tercipta hubungan timbak balik yang baik antara perusahaan dan
karyawan.
DAFTAR PUSTAKA
J.
Greenberg, R. Baron. 2008. Behavior In
Organizations. USA: Prentice Hall.
G.
Velasquez, Manuel. 2005. Etika Bisnis dan
Kasus Edisi 5. Yogyakarta: Penerbit Andi.
http://www.google.co.id/TINJAUAN+TENTANG+ETIKA,+HAK+DAN+KEWAJIBAN+KARYAWAN+DALAM+PERUSAHAAN+Hariyanti+STIE-AUB+Surakarta/,
15 Mei 2012, 18:31’:32”.
http://yayaup.wordpress.com/2010/10/20/whistle-blowing/,
15 Mei 2012, 18:46’:32”.
LAMPIRAN
Pertanyaan
dan Jawaban Diskusi (Presentasi)
1. Pascal: Contoh diskriminasi institusional sengaja atau tidak
sengaja
Jawab:
Contoh diskriminasi institusional sengaja à
suatu perusahaan membuka lowongan pekerjaan dengan mencantumkan syarat tinggi
badan, berat badan, gender. Hal tersebut secara sengaja atau tidak sengaja
sudah melakukan diskriminasi bagi calon karyawannya.
2. Reni : Pembagian gaji adil menurut pandangan?
Jawab:
Pandangan menurut Thomas Garrett dan
Richard Klonoski yang berpendapat bahwa
dalam menetapkan gaji yang adil , maka ada 6 kriteria yang harus
dipertimbangkan :
a. Peraturan
Hukum, Gaji yang adil jika sesuai dengan
hukum yang berlaku, seperti ketentuan hukum tentang upah minimum.
b. Upah
yang lazim, rata-rata gaji atau upah
yang diberikan oleh perusahaan setara dengan upah minimum regional .
c. Kemampuan
perusahaan , perusahaan yang menghasilkan yang besar , harus memberikan gaji
yang lebih besar juga, seperti pemberian bonus atau insentif.
d. Pekerjaan
yang bersifat khusus . Pekerja yang bekerja di pekerjaan yang bersifat khusus
atau tingkat resiko yang tinggi , harus diberi gaji yang tinggi.
e. Perbandingan
dengan gaji dalam perusahaan yang sejenis. Gaji atau upah diberikan oleh
perusahaan dengan melihat gaji atau upah pekerja di perusahaan lain yang
sejenis.
f. Merundingkan
gaji atau upah antara pekerja dan perusahaan.
3. Revi : gambaran yang favoritisme, etis dan tidak etis?
Jawab:
Favoritisme membedakan orang karena
preferensi dan biasanya etis jika terjadi pada perusahaan yang kecil. Hal ini
dikarenakan perusahaan kecil itu biasanya milik keluarga. Namun jika perusahaan
tersebut adalah perusahan besar maka favoritisme menjadi tidak etis karena
tidak lagi hanya melibatkan keluarga tetapi juga sudah melibatkan orang lain
yang lingkupnya lebih luas.
Buku
Referensi
Judul : Behavior in Organizations Ninth
Edition
Penulis : J.Greenberg, R. Baron
Penerbit : Prentice Hall, USA
Tahun
: 2008
Judul : Etika Bisnis Konsep dan Kasus
Edisi 5 (Terjemahan)
Penulis : Manuel G. Velasquez
Penerbit : Penerbit Andi, Yogyakarta
Tahun
: 2005
[1] Tinjauan tentang Etika, Hak dan Kewajiban dalam Perusahaan/Hariyanti,
[2] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus, (Yogyakarta:Penerbit
Andi, 2005), hlm 428.
[3] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5,
(Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 427.
[4] Whistle Blowing, < http://yayaup.wordpress.com/2010/10/20/whistle-blowing/>,
15 Mei 2012, 18:46’:32”.
[5] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5,
(Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 370.
[6] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5,
(Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 386.
[7] J.Greenberg, R. Baron, Behavior In Organizations Ninth Edition,
(USA:Prentice Hall, 2008), hlm 216.
[8] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5,
(Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 439.
[9] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5,
(Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 436.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar