Minggu, 19 Januari 2014

BUSINESS ETHICS_Kewajiban Karyawan dan Perusaaan



Kewajiban Karyawan dan Perusahaan

BAB I
PENDAHULUAN
Etika pada dasarnya adalah standar atau moral yang menyangkut benar-salah, baik-buruk seperti apa yang dikatakan oleh perasaan sesorang, tetapi anggapan seseorang atas perasaannya yang menganggap bahwa sesuatu yang dianggap benar belum tentu perasaan orang lain menganggap bahwa hal itu benar atau sesuai dengan etika.  Dalam kerangka konsep etika bisnis terdapat pengertian tentang etika perusahaan, etika kerja dan etika perorangan, yang menyangkut hubungan-hubungan sosial antara perusahaan, karyawan dan lingkungannya. Etika perusahaan menyangkut hubungan perusahaan dan karyawan sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya (misalnya dengan perusahaan lain atau masyarakat setempat), etika kerja terkait antara perusahaan dengan karyawannya, dan etika perorangan mengatur hubungan antar karyawan.
Masalah etika sangat kompleks, tersebar di berbagai disiplin ilmu. Perusahaan dalam hal ini, dalam kelangsungan hidupnya menghadapi berbagai pengaruh baik dari luar maupun dalam perusahaan. Dari dalam perusahaan adalah yang berhubungan dengan karyawan. Khususnya bagaimana pelaksanaan etika hubungannya dengan hak dan kewajiban karyawan terhadap perusahaan dan sebaliknya.
Dalam etika bisnis terdapat kewajiban dua pihak, yaitu pada karyawan dan pada perusahaan, awalnya kita mulai dengan menyoroti kewajiban karyawan pada perusahaan kemudian kita selanjutnya membalikan perspektifnya dengan memfokuskan kewajiban perusahaan terhadap karyawan. Makalah ini membahas tentang kewajiban-kewajiban karyawan dan perusahaan.









BAB II
PEMBAHASAN
  1. Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan
·         Ada tiga kewajiban karyawan terhadap perusahaan yang penting,.
1.      Kewajiban Ketaatan
Karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan khususnya dalam kaitannya dengan pekerjaan di perusahaan. Tetapi karyawan tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral, misalnya: penipuan, membunuh musuh dll. Karyawan tidak wajib mematuhi perintah yang tidak wajar yaitu perintah yang tidak diberikan demi kepentingan perusahaan, misalnya menyuruh bawahan merenovasi rumah atasan. Karyawan tidak perlu mematuhi perintah yang tidak sesuai job discription
2.      Kewajiban Konfidensialitas
Yaitu kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat rahasia yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi, misalnya dokter, psikolog, pengacara, pendeta, ulama, akuntan. Kewajiban kerahasiaan tidak saja berlaku selama karyawan bekerja di perusahaan, tetapi berlangsung terus setelah ia pindah kerja. Yang termasuk rahasia perusahaan misalnya  teknik memproduksi suatu produk, hasil penelitian dll.
3.      Kewajiban Loyalitas
Kewajiban loyalitas merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan perusahaan. Karyawan harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut,ia harus menghindari apa yang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Karyawan tersebut berarti melakukan kewajiban loyalitas. Faktor pengganggu loyalitas adalah konflik kepentingan pribadi dan perusahaan[1]
Konflik kepentingan bisa bersifat aktual atau potensial. Konflik kepentingan aktual terjadi saat seseorang melaksanakan kewajibannya dalam suatu cara yang menggangu perusahaan dan melakukannya demi kepentingan pribadi. Konflik kepentingan potensial terjadi saat seseorang, karena didorong kepentingan pribadi, bertindak dalam suatu cara yang merugikan perusahaan[2].
Dalam pandangan rasional tentang perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah untuk bekerja mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan-kegiatan yang mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti menyimpang dari tujuan-tujuan tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri dengan cara-cara  yang melanggar hukum dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk “kejahatan kerah putih”.
Sebagai administrator keuangan perusahaan, misalnya, manajer keuangan dipercaya menangani masalah dana dan memiliki tanggungjawab untuk menangani dana tersebut dalam suatu cara yang mampu meminimalkan risiko sekaligus menjamin tingkat pengembalian yang tepat bagi pemegang saham perusahaan. Manajer keuangan memiliki kewajiban kontraktual pada perusahaan dan para investor karena dia telah menyetujui perjanjian untuk memberikan kinerja  terrbaik bagi perusahaan dan melaksanakan kewenangannya hanya demi pencapaian tujuan perusahaan, dan bukan demi keuntungan pribadinya. Manajer keuangan dikatakan gagal memenuhi kewajiban kontraktual pada perusahaan apabila dia menyalahgunakan dana perusahaan, menghabiskan dana perusahaan secara sia-sia, lalai atau bertindak curang dalam pembuatan laporan keuangan, memberikan laporan yang salah atau menyesatkan dan seterusnya.
Pandangan-pandangan tradsional tentang kewajiban pegawai pada perusahaan membentuk apa yang disebut “hukum agensi” atau peraturan yang menetapkan kewajiban-kewajiban hukum dari agen (pegawai) kepada pemimpinnya. Pegawai harus berusaha  mencapai tujuan perusahaan dan tidak boleh melakukan apapun yang berkonflik dengan tujuan-tujuan tersebut pada saat bekerja pada perusahaan.
Ada sejumlah situasi dimana pegawai gagal melaksanakan kewajiban untuk mencapai tujuan perusahaan. Misalnya pegawai melakukan tindakan yang mengakibatkan terjadinya “konflik kepentingan”, mencuri dari perusahaan, atau menggunakan jabatannya sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan dari orang lain dengan melakukan pemerasan atau suap.[3]

·         Melaporkan kesalahan perusahaan (whistle blowing)
Whistle blowing adalah tindakan seorang pekerja yang memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan internal atau eksternal tentang hal-hal ilegal dan tidak etis yang terjadi di lingkungan kerja. Hal ini merupakan isu yang penting dan dapat berdampak buruk, baik kepada individu tersebut maupun organisasi yang dilaporkan (Vinten, 1994). Menurut Vardi dan Wiener (1996), tindakan ini termasuk tindakan menyimpang karena menyalahi aturan inti pekerjaan dalam perusahaan yang harus dipatuhi oleh semua pekerja. Sedangkan menurut Moberg (1997) tindakan ini dikategorikan sebagai pengkhianatan terhadap perusahaan.
Whistle Blowing dalam perusahaan (misalnya atasan) dapat disebut sebagai perilaku menyimpang tipe O jika termotivasi oleh identifikasi perasaan yang kuat terhadap nilai dan misi yang dimiliki perusahaan, dengan kepedulian terhadap kesuksesan perusahaan itu sendiri. Sedangkan tindakan whistle blowing yang bersifat ”pembalasan dendam” dikategorikan sebagai perilaku menyimpang tipe D karena ada usaha untuk menyebabkan suatu bahaya. Sementara itu, beberapa peneliti menganggap whistle blowing sebagai suatu bentuk tindakan kewarganegaraan yang baik (Dworkin & Nera, 1997), harus didorong dan bahkan dianugerahi penghargaan. Namun, whistle blowing biasanya dipandang sebagai perilaku menyimpang. Para atasan menganggapnya sebagai tindakan yang merusak yang kadang berupa langkah pembalasan dendam yang nyata (Near & Miceli, 1986). Para atasan berpendapat bahwa pada saat tindakan yang tidak etis terungkap, maka mereka harus berhadapan dengan pihak intern mereka sendiri. Penelitian Near & Miceli mengungkapkan bahwa whistle blower lebih memilih melakukan aksi balas dendam apabila mereka tidak mendapat dukungan yang mereka inginkan dari atasannya, insiden yang terjadi tergolong serius, dan menggunakan sarana eksternal untuk melaporkan kesalahan yang ada.
Kita dapat mengidentifikasi pola tingkatan dari OMB, yaitu sebuah tindakan tidak pantas yang dilakukan di dalam organisasi/perusahaan dan anggota dalam perusahaan memutuskan untuk menentang norma loyalitas kepada perusahaan dan mengungkapkan tindakan tidak pantas tadi kepada pihak luar. Dampaknya, organisasi/perusahaan akan melakukan tindakan menyimpang lebih jauh dengan mengambil aksi balas dendam kepada whistle blower tadi.
Perilaku whistle blowing berkembang atas beberapa alasan. Pertama, pergerakan dalam perekonomian yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan, keahlian, dan kepedualian sosial dari para pekerja. Kedua, keadaan ekonomi sekarang telah memberi informasi yang intensif dan menjadi penggerak informasi. Ketiga, akses informasi dan kemudahan berpublikasi menuntun whistle blowing sebagai fenomena yang tidak bisa dicegah atas pergeseran perekonomian ini (Rothschild & Miethe, 1999).
Tidaklah mudah untuk memastikan terjadinya whistle blowing. Rothschild & Miethe (1999) mendapatkan informasi yang menarik tentang hal ini. Dengan menngunakan sampel pekerja dewasa di US, ditemukan bahwa 37% dari mereka menemukan tindakan menyimpang di dalam lingkungan kerja mereka dan 62% dari porsi ini melakukan tindakan whistle blowing. Namun hanya 16% yang melaporkan ke pihak eksternal, sisanya hanya melapor kepada pihak internal yang memiliki kuasa lebih tinggi.
Miceli & Nera (1997) memandang whistle blowing sebagai antisocial OB. Antisocial OB adalah tindakan intens yang bersifat membahayakan yang dilakukan anggota organisasi terhadap individu, kelompok, atau organisasi. Untuk perilaku whistle blowing yang diklasifikasikan kedalam golongan ini harus dipastikan tingkat bahaya yang dihasilkan. Perilaku ini sejalan dengan OMB tipe D, yang juga dianggap sebagai aksi balas dendam.
De George (1986) menetapkan tiga kriteria atas whistle blowing yang adil. Pertama organisasi yang dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya atau kepada kepentingan publik yang luas. Kedua, kesalahan harus dilaporkan pertama kali kepada pihak internal yang memiliki kekuasaan lebih tinggi, dan ketiga, apabila penyimpangan telah dilaporkan kepada pihak internal yang berwenang namun tidak mendapat hasil, dan bahkan penyimpangan terus berjalan, maka pelaporan penyimpangan kepada pihak eksternal dapat disebut sebagai tindakan kewarganegaraan yang baik.
Menurut James (1984), whistle blower dalam for-profit organization akan dikenakan pemutusan kerja. Mereka juga akan masuk dalam blacklist yang tidak mendapat surat rekomendasi. Sementara itu, dalam non-for-profit organization, whistle blower biasanya dipindahkan, diturunkan posisinya, dan tidak akan mendapat promosi.
Perilaku whistle blowing dapat terjadi sebagai akibat dari penanaman nilai yang kuat atas suatu organisasi, mencakup bagaimana dan apa nilai-nilai serta budaya yang terdapat dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaruh sosial dan budaya organisasi merupakan pengaruh yang kuat terhadap terjadinya whistle blowing.[4]
  1. Kewajiban Perusahaan Terhadap Karyawan
·           Mengenai Diskriminasi
Diskriminasi dalam perusahaan adalah membedakan berbagai karyawan karena alasan yang tidak relevan yang berakar pada prasangka atau stereotip. Diskriminasi dapat terjadi pada saat perekrutman, seleksi, kenaikan pangkat,kondisi pekerjaan.
Diskriminasi biasanya terjadi terhadap ras, agama, dan jenis kelamin.
Bentuk- bentuk diskriminasi antara lain : Aspek Sengaja dan Aspek institusional.
1.    Tindakan diskriminasi  merupakan bagian dari prilaku terpisah (tidak terinstitusional) dari seseorang yang secara sengaja dan sadar melakukan diskriminasi karena prasangka.
2.    Tindakan diskriminasi  merupakan perilaku rutin dari kelompok yang terinstitusionalisasi yang segaja dan sadar melakukan disriminasi berdasarkan prasangka dari para anggotanya.
3.    Tindakan diskriminasi merupakan perilaku terpisah dari seseorang yang secara tidak sengaja melakukan diskriminasi karena ia menerima dan melaksanakan praktik-praktik dan steriotip tradisional dari masyarakatnya.
4.    Tindakan diskriminasi kemungkian merupakan rutinitas sistematis organisasi yang secara tidak sengaja memasukan prosedur formal yang akan mendiskriminasi orang lain.
Indicator untuk memperkirakan apakah perusahaan  melakukan diskriminasi kepada kelompok tertentu , yaitu:
1.      Perbandingan keuntungan/ penghasilan rata-rata yang diberikan perusahaan pada kelompak yang terdiskriminasi  dengan kelompok lainya. Contoh gaji antara wanita dan laki-laki lulusan perguruan tinggi.
2.      Perbandingan proporsi kelompok yang terdiskriminasi yang terdapat pada tingkat pekerjaan yang paling rendah dengan kelompok lain yang sejenis.
3.      Perbandingan proporsi pemegang jabatan yang menguntungkan antara anggota di kelompok diskriminasi dengan anggota kelompok lain. Cotohnya wanita yang menjadi pimpinan perusahaan saat ini sangat kecil jumlahnya dibandingkan laki-laki.[5]
Beberapa beberapa teori etika yang menentang  diskriminasi:
1.                     Utilitarisme (Utility)
Diskriminasi akan mengarahkan pada penggunaan sumber daya manusia yang tidak efisien. Dalam teori ini menentang diskriminsi didasarkan pada pandangan bahwa produktivitas dari suatu masyarakat akan optimal jika pekerjaan tersebut sesuai dengan kemampuannya sehingga  diskriminasi pencari kerja berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, atau karakteristik lain yang tidak relevan dengan pekerjaan adalah tidak efisien dan bertentangan dengan prinsip utilitarisme. Akan tetapi teori ini mendapat pertentangan, karena jika argumen utilitarime tersebut benar , kesejahteraan masyarakat akan meningkat sepanjang pekerjaan tersebut sesuai dengan kualifikasi yang berkaitan dengan pekerjaan. Akan tetapi kesejahteraan masyarakat yang diperoleh berdasarkan faktor lain seperti kebutuhan. Selain itu, diskriminasi yang berkenaan dengan jenis kelamin, ada kalanya memberikan manfaat yang lebih kepada perusahaan,seperti rumah tangga yang akan lebih efisien jika dikerjakan oleh perempuan, sedangkan laki-laki lebih disosialkan kekarakteristik pencari penghasilan.
Kaum utilitarism akan menanggapi kritik tersebut bahwa menggunakan faktor-faktro selain kualifikasi perkerjaan tidak akan menghasilkan yang lebih jika dibandingkan dengan yang menggunakan kualifikasi.
2.                     Deontologi (Right)
Diskriminasi telah melanggar hak asasi manusia. Terdapat 2 hal yang dilanggar, yaitu:
a.    diskriminasi didasarkan pada keyakinan bahwa suatu kelompok dianggap lebih rendah dibandingkan kelompok lain.contohnya orang –orang berkulit hitam atau kaum perempuan yang dianggap tidak kompeten;
b.   diskriminasi  menempatkan kelompok yang terdiskriminasi  dalam posisi social dan ekonomi yang rendah. Contohnya kaum perempuan dan minoritas yang memiliki peluang kerja terbatas dan gaji yang kecil.
Dari kedua hal yang dilanggar ini menbuktikan bahwa hak untuk diperlakukan sebagai individu yang merdeka dan sederajat.
3.         Teori keadilan (Justice)
Dalam teori ini dikemukakan bahwa diskriminasi bertentangan dengan keadilan distributif, yakni seperti  yang disampaikan leh John Rawls , salah satu prinsip keadilan yang paling penting adalah prinsip kesamaan kah untuk memperoleh kesempatan, sehingga ketidakadilan social dan ekonomi seharusnya diatur sedemikian rupa sehingga dapat menyalurkan pekerjaan -pekerjaan terbuka bagi semua orang. Diskriminasi yang cenderung melakukan perbedaan orang dengan cara yang berbeda dengan orang lain tanpa alasan yang tepat telah melanggar prinsip tersebut.[6]
Terdapat 2 pendekatan yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk melawan diskriminasi ditempat kerja, yaitu:
1.      affirmative action law , suatu program yang didesain untuk memastikan porsi minoritas match dengan porsi yang ada di perusahaan. perlakuan preferensial khusus (dapat dengan menhiring kaum minoritas atau wanita untuk menempati posisi yang dianggap stereotip oleh mayoritas) sebagai  bentuk kompensasi atas kerugian yang mereka alami dimasa lalu dan mengintepretasikan perlakuan preferensial sebagai sarana guna mencapai tujuaan social, seperti keadialan yang merata (instrumental);
2.      diversity management program, suatu program yang didesain untuk mengajarkan karyawan untuk menerima perbedaan – perbedaan yang ada disekitarnya.
Diversity management program terdiri atas dua, yaitu:
a.      awareness based diversity training;
b.      skill based diversity training, dengan cara:
-          cross cultural understanding: memahami cultural negara lain;
-          intercultural communication: belajar untuk memahamin halangan yang muncul dalam komunikasi secara verbal maupun non verbal;    
facilitation skill: latihan untuk membantu orang lain meminimalkan kesalahpahaman  yang muncul dari perbedaan budaya;
-          flexibility and adaptability: latihan untuk menghadapi suatu perbedaan saat sedang bertransaksi.[7]
·                     Kondisi Kerja: Kesehatan dan Keamanan
                        Bahaya di tempat kerja tidak hanya kategori-kategori ancaman yang jelas seperti kecelakaan, tersengat listrik dan terbakar tetapi juga suhu yang sangat panas atau sangat dingin, suara keras dari mesin, debu batuan, debu fiber, asap kimia, merkuri, timah, berilium, arsenik, karat iritasi kulit, radiasi, dsb.
                        Resiko memang bagian yang tak terpisahkan dari pekerjaan. Sejauh pekerja memperoleh kompensasi penuh dalam menghadapi resiko tersebut dan secara sukarela dan sadar menerimanya dan memperoleh kompensasi sebagai imbalannya, maka kita bisa mengasumsikan bahwa pengusaha atau perusahaan telah bertindak secara etis.
                        Perusahaan memiliki kewajiban dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin bahwa pegawai tidak dimanipulasi secara tidak adil agar menerima resiko, tanpa menyadari, dengan paksaan, atau tanpa kompensasi yang layak. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.      perusahaan wajib menawarkan gaji yang merefleksikan prevalensi risiko-   premi dalam pasar kerja yang serupa, namun kompetitif;
2.      untuk menjamin pegawai terhadap bahaya yang diketahui, perusahaan perlu memberikan program asuransi kesehatan yang sesuai;
3.      perusahaan perlu (secara individual atau bersama perusahaan lain) mengumpulkan informasi tentang bahaya kesehatan yang terdapat dalam suatu pekerjaan dan menyebarkan informasi tersebut ke seluruh pegawai.[8]
·                     Gaji
                        Setiap perusahaan menghadapi dilema ketika menetapkan gaji pegawai. Bagaimana menyeimbangkan kepentingan perusahaan untuk menekan biaya dengan kepentingan pegawai untuk memperoleh kehidupan yang layak bagi diri mereka sendiri dan keluarganya.
                        Meskipun tidak ada cara untuk menentukan gaji yang layak dengan pasti, setidaknya bisa mengidentifikasi sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan gaji dan upah.
1. Gaji dalam industri dan wilayah tempat seseorang bekerja.
      2. Kemampuan perusahaan. Secara umum, semakin tinggi keuntungan perusahaan, semakin besar gaji yang dibayarkan paa pegawai dan sebaliknya
      3.         Sifat perusahaan. Pekerjaan yang mengandung risiko lebih tinggi, kurang memberikan jaminan keamanan, memerlukan lebih banyak pelatihan dan pengalaman, memberikan beban fisik dan emosional yang lebih besar, atau memerlukan tingkat kerja yang lebih besar, haruslah disertai dengan tingkat kompensasi yang lebih tinggi.
      4. Peraturan upah minimum. Upah minimum yang ditetapkan merupakan dasar gaji yang diberikan. Dalam sebagian besar kasus, nilai yang lebih rendah dianggap tidak adil.
      5.         Hubungan dengan gaji lain. Jika struktur gaji dalam suatu organisasi ingin dianggap adil, maka para pegawai yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kurang lebih sama harus diberi gaji yang sebanding.
      6. Kelayakan negosiasi gaji. Gaji dan upah yang dihasilkan dari negosiasi yang tidak dilakukan secara sukarela dimana salah satu pihak menggunakan penipuan, kekuasaan, ketidaktahuan, atau ketidakjujuran untuk mencapai tujuannya, maka hal tersebut tidak bisa dikatakan adil.[9].




















BAB III
PENUTUP
Ada tiga kewajiban karyawan terhadap perusahaan yaitu kewajiban ketaatan, konfidensialitas, dan loyalitas. Kewajiban tersebut bagi karyawan
Whistle blowing adalah tindakan seorang pekerja yang memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan internal atau eksternal tentang hal-hal ilegal dan tidak etis yang terjadi di lingkungan kerja.
Selain membebani karyawan dengan berbagai kewajiban terhadap perusahaan, suatu perusahaan juga berkewajiban untuk memberikan hak-hak yang sepadan dengan karyawan. Perusahaan hendaknya tidak melakukan praktek diskriminasi terhadap karyawan. Perusahaan juga berkewajiban untuk memberikan kondisi kerja yang memperhatikan kesehatan dan keamanan pekerja, memberikan imbalan gaji yang adil, dsb.
Hak-hak yang diterima karyawan hendaknya sesuai dengan kontribusinya ke perusahaan. Karyawan yang berprestasi diberi haknya berupa bonus atau penghargaan yang membuat karyawan terpacu untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kinerjanya. Dengan begitu tercipta hubungan timbak balik yang baik antara perusahaan dan karyawan.









DAFTAR PUSTAKA
J. Greenberg, R. Baron. 2008. Behavior In Organizations. USA: Prentice Hall.
G. Velasquez, Manuel. 2005. Etika Bisnis dan Kasus Edisi 5. Yogyakarta: Penerbit Andi.




















LAMPIRAN
Pertanyaan dan Jawaban Diskusi (Presentasi)
1.    Pascal: Contoh diskriminasi institusional sengaja atau tidak sengaja
Jawab:
     Contoh diskriminasi institusional sengaja à suatu perusahaan membuka lowongan pekerjaan dengan mencantumkan syarat tinggi badan, berat badan, gender. Hal tersebut secara sengaja atau tidak sengaja sudah melakukan diskriminasi bagi calon karyawannya.
2.    Reni : Pembagian gaji adil menurut pandangan?
                   Jawab:
Pandangan menurut Thomas Garrett dan Richard Klonoski yang berpendapat   bahwa dalam menetapkan gaji yang adil , maka ada 6 kriteria yang harus dipertimbangkan :
a.       Peraturan Hukum,  Gaji yang adil jika sesuai dengan hukum yang berlaku, seperti ketentuan hukum tentang upah minimum.
b.      Upah yang lazim,  rata-rata gaji atau upah yang diberikan oleh perusahaan setara dengan upah minimum regional .
c.       Kemampuan perusahaan , perusahaan yang menghasilkan yang besar , harus memberikan gaji yang lebih besar juga, seperti pemberian bonus atau insentif.
d.      Pekerjaan yang bersifat khusus . Pekerja yang bekerja di pekerjaan yang bersifat khusus atau tingkat resiko yang tinggi , harus diberi gaji yang tinggi.
e.       Perbandingan dengan gaji dalam perusahaan yang sejenis. Gaji atau upah diberikan oleh perusahaan dengan melihat gaji atau upah pekerja di perusahaan lain yang sejenis.
f.       Merundingkan gaji atau upah antara pekerja dan perusahaan.

3.    Revi : gambaran yang favoritisme, etis dan tidak etis?
       Jawab:
       Favoritisme membedakan orang karena preferensi dan biasanya etis jika terjadi pada perusahaan yang kecil. Hal ini dikarenakan perusahaan kecil itu biasanya milik keluarga. Namun jika perusahaan tersebut adalah perusahan besar maka favoritisme menjadi tidak etis karena tidak lagi hanya melibatkan keluarga tetapi juga sudah melibatkan orang lain yang lingkupnya lebih luas.

Buku Referensi
Judul               : Behavior in Organizations Ninth Edition
Penulis             : J.Greenberg, R. Baron
Penerbit           : Prentice Hall, USA
Tahun              : 2008

Judul               : Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5 (Terjemahan)
Penulis             : Manuel G. Velasquez
Penerbit           : Penerbit Andi, Yogyakarta
Tahun              : 2005


[2] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 428.
[3] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 427.

[4] Whistle Blowing, < http://yayaup.wordpress.com/2010/10/20/whistle-blowing/>, 15 Mei 2012, 18:46’:32”.
[5] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 370.


[6] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 386.
[7] J.Greenberg, R. Baron, Behavior In Organizations Ninth Edition, (USA:Prentice Hall, 2008), hlm 216.
[8] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 439.
[9] G. Velasquez, Manuel, Etika Bisnis Konsep dan Kasus Edisi 5, (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2005), hlm 436.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar